Sharuna, nama gadis itu. Rambutnya panjang sampai sebahu. Ia sandarkan kepala di atas tumpukan bantal. Berbaring setengah duduk. Ia diam seribu bahasa di petak kamarnya yang mungil. Lebih tepatnya di atas ranjang tidur tanpa melakukan apapun. Hanya mata yang aktif menatap ke segala arah dan telinga yang mendengarkan, suara hujan di luar sana yang tak kunjung reda. Sharuna menatap laba-laba di pojok ruangan itu, sedang sibuk berjalan-jalan di antara sarang yang dirajutnya.
“Bagaimana kamu bisa bertahan, pada rumah yang lemah. Yang sewaktu-waktu, aku bisa merusaknya dengan sapuku,” gumamnya pelan.
Cicak-cicak menyebalkan saling berlarian di atas plafon kamarnya. Batin Sharuna bergemuruh, menebak suatu hal yang belum terjadi seperti,
“Jangan-jangan, cicak-cicak itu akan buang kotoran ke arahku kembali.”
Tebakan itu muncul, karena kemarin sore ketika Sharuna asyik membaca buku, salah satu cicak itu berlaku tidak sopan. Ia buang kotoran tepat di atas bukunya. Sharuna merasa begitu sebal. Ia ambil tisu dan membersihkan kotoran itu segera. Namun, kotoran itu tak bisa sepenuhnya hilang. Masih tertinggal meski tak seberapa. Sharuna tidak tahu harus melakukan apa pada kertas di bukunya, yang tercemar kotoran hewan kecil tak sopan. Haruskah ia membersihkan dengan tisu basah? Tapi kertas bukunya pun akan ikut basah.
“Cicak laknat,” serunya penuh amarah.
Sharuna mengambil karet gelang, lalu menjepret mereka dengan buas. Karet gelang Sharuna melejit ke segala arah. Cicak-cicak itu pandai berlindung, sementara Sharuna merasa begitu kepayahan. Tenaganya berkurang karena ia juga melonjak-lonjak.
“Jangan kalian buang kotoran sembarangan seperti kemarin lagi. Awas bila itu terjadi,” gumamnya dalam hati sebelum telinganya menangkap suara kucing yang sedang mengeong di balik jendela kamarnya. Buru-buru Sharuna berdiri, mendekat ke arah jendela lalu membukanya.
“Mossy,” teriaknya.
Diraihnya kucing kesayangan Sharuna masuk ke dalam kamar. Bulu-bulunya terlihat basah. Sharuna bergegas mengambil handuk untuk mengeringkannya.
“Tenang, Mossy. Malam ini kita tidur bersama.”
Pikiran Sharuna terbang pada tiga kucingnya yang lain. Yang sedang kedinginan di luar rumah. Yang tidak diizinkan masuk ke dalam oleh ibunya.
“Kapan ya, Mossy. Ibuku yang monster itu berubah menjadi malaikat,” harap Sharuna dalam hati.
Ia berjalan mematikan lampu kamar. Kunang-kunang di pojok ruangan kamar sudah menyala. Entah dari mana datangnya kunang-kunang itu, hingga tersesat di sana. Namun, Sharuna merasa bahagia. Masih ada satu titik cahaya berpindah-pindah, di dalam kamarnya yang gelap. Mata Sharuna terpejam perlahan, suara-suara itu kembali datang.
“Kakak Sharuna. Kakak Sharuna,” teriakan itu semakin lama semakin jelas didengar.
“Ohh, mimpi yang ini lagi,” keluh Sharuna di alam bawah sadarnya.
Perempuan kecil itu berlari mendekati Sharuna. Ia menangis terisak-isak.
“Ada apa?” rengkuh Sharuna lembut.
“Ibuku, Ibuku, Kakak Sharuna. Memarahi aku,” tuturnya terbata di sela-sela isakan tangisnya.
“Dia memarahi aku. Aku tidak sengaja menyenggol gelas beling di meja hingga gelas itu pecah. Airnya tumpah ke mana-mana. Ibu sangat marah. Ia mencubit paha aku. Sakit sekali Kakak Sharuna. Aku takut melihat ibu,” tangis perempuan kecil itu menjadi-jadi.
Sharuna berlutut. Berupaya menyamakan tinggi badannya dengan tinggi badan anak perempuan itu. Mata Sharuna menatap perempuan kecil itu lekat-lekat.
“Dengar, kamu tidak melakukan kesalahan apapun. Kamu tidak sengaja. Ibumu mungkin lelah sehingga marah-marah macam begitu.”
“Tidak, Kakak Sharuna. Aku melakukan kesalahan besar. Kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.”
Sharuna menarik napasnya kuat-kuat, kemudian menghembuskannya perlahan. Sharuna membimbing perempuan kecil itu dengan lembut, menjelaskan padanya bahwa ketidaksengajaannya itu bukan salahnya. Ia menjelaskan bahwa gelas yang pecah tidak akan kembali menjadi utuh dan itu bukan salahnya. Ia bisa menggantinya dengan gelas yang baru. Sulit bagi Sharuna untuk bisa menenangkan perempuan kecil itu. Ia butuh waktu yang tidak sebentar hingga perempuan kecil itu menjadi tenang.
“Kakak Sharuna, Kakak di sana hanya diam saja di tepi danau. Mungkin, dia sedang sedih seperti aku. Tapi dia tidak menangis. Dia hanya diam saja.”
Sharuna berjalan menuju danau. Di sana duduk sendirian perempuan remaja dengan tatapan kosong.
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Sharuna pada perempuan remaja itu.
“Aku sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik, tetapi aku gagal Kak Sharuna. Aku merasa, aku tidak berguna,” terangnya tanpa memberi tatapan wajah pada Sharuna.
Sama seperti pada perempuan kecil itu, Sharuna mencoba untuk memotivasi perempuan remaja itu. Sharuna menjelaskan banyak hal, ia bercerita banyak hal pula.
“Kak Sharuna, bukankah Kakak juga merasakan hal yang sama? Merasa khawatir tidak bisa membandingkan diri dengan orang lain, merasa tidak ada yang bisa dibanggakan, merasa tidak ada yang bisa dihasilkan. Takut, cemas jika mereka melihat Kak Sharuna sebagai sosok yang tidak berguna,” tiba-tiba perempuan remaja itu menatap Sharuna lekat-lekat. Tatapan matanya tegas. Tak berkedip sama sekali. Sharuna merasa jatuh. Hati Sharuna entah berada di mana sekarang.
“Kakak Sharuna, kapan ibuku yang monster itu berubah menjadi malaikat?” teriak perempuan kecil di seberang danau. Suaranya nyaring sekali.
Sharuna gelagapan karena teriakan itu. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Mimpi itu jelas sekali. Dalam tidurnya, Sharuna sering bermimpi. Biasanya di dalam mimpi itu, terlintas memori-memori yang tidak jelas. Datang berklebatan. Orang-orang yang dikenalnya juga saling berbincang. Bising sekali. Kali ini mimpinya berbeda. Kali ini jelas dan menyakitkan.
“Kakak Sharuna, kapan ibuku yang monster itu berubah menjadi malaikat?” pertanyaan itu kembali didengarnya. Air mata Sharuna tiba-tiba mengalir deras. Ia menatap ke segala arah. Kamarnya begitu gelap. Hanya sorot lampu luar yang masuk di dinding-dinding kamar indekostnya sedikit saja.
“Jaga kesehatan di sana ya, Nduk. Ibu mendoakanmu dari jauh. Semoga pekerjaanmu dilancarkan Gusti Allah,” tutur ibunya beberapa waktu lalu ketika Sharuna harus kembali ke Jakarta untuk bekerja.
“Ibuk, Ibuk..” deras tangis Sharuna.
“Kunang-kunang di kamar Sharuna sudah tidak lagi ada. Gelap, gelap sekali.” Gumamnya kemudian. []
Penulis: Adifa Wahyuni