Home Solo Raya AJI Solo: Hentikan Kriminalisasi dan Kekerasan terhadap Jurnalis

AJI Solo: Hentikan Kriminalisasi dan Kekerasan terhadap Jurnalis

0

AJI Solo: Hentikan Kriminalisasi dan Kekerasan terhadap Jurnalis

SOLO – Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo dan Perhimpunan Pers Mahasiswa (PPMI) Dewan Kota Solo menggelar aksi guna memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD) 2019, Jumat (3/5/2019).

Sekitar 20 jurnalis di Kota Solo ini berorasi menyuarakan keprihatinan atas kekerasan terhadap jurnalis. Mereka amat prihatin dengan kekerasan yang dialami para insan pers. Kasus kekerasan terhadap jurnalis bukanlah hal baru di Indonesia.

Pada awal 2019, dua jurnalis foto, Iqbal Kusumadireza (Rezza) yang bekerja sebagai pekerja lepas dan Prima Mulia (Tempo), mengalami penganiayaan disertai intimidasi agar menghapus foto. Kekerasan ini terjadi saat mereka sedang menjalankan tugas jurnalistik, yakni meliput aksi demo Hari Buruh di Kota Bandung, Rabu (1/5/2019). Selain itu, peserta aksi juga prihatin dengan nasib pekerja media di Kota Semarang, Jawa Tengah, yang dipecat secara sepihak di Hari Buruh.

Abdullah Munif, seorang pekerja perusahaan media di Kota Semarang, Jawa Tengah, menerima pil pahit itu pada Selasa (30/5/2019) atau sehari menjelang peringatan May Day, 1 Mei lalu. Tenaga lay out surat kabar Suara Merdeka itu menerima sepucuk surat berisi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak dari perusahaannya

“Aksi ini dilakukan bertepatan dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia sekaligus sebagai aksi solidaritas kepada dua jurnalis foto yang menjadi korban penganiayaan di Bandung, Jawa Barat, serta pekerja media di Semarang yang dipecat secara sepihak di Hari Buruh,” kata Ketua AJI Kota Solo, Adib Muttaqin Asfar.

Peringatan World Press Freedom Day atau Hari Kemerdekaan Dunia setiap 3 Mei menjadi pengingat akan pentingnya kebebasan pers di setiap negara, termasuk Indonesia. Apalagi, dunia pers Indonesia masih diwarnai berbagai hal yang mengancam kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi.

Menurut data statistik yang dikumpulkan Bidang Advokasi AJI Indonesia, setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama 2018. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga upaya pemidanaan terkait karya jurnalistik.

Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2017 yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi pada 2016 lalu (81 kasus), paling rendah 39 kasus pada 2009.

Kasus tersebut menjadi contoh potret buram dunia pers di Indonesia. Namun, itu hanya sedikit gambaran dari berbagai masalah kebebasan pers, kesejahteraan jurnalis, profesionalisme jurnalis dan media, dan independensi.

Indeks kebebasan pers dunia yang dilaporkan Reporters Without Borders (RSF) pertengahan April 2019 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-124 dari 180 negara alias stagnan. Masih adanya intimidasi, kekerasan, hingga adanya UU ITE serta UU Anti-Penodaan Agama, menjadi penyebabnya.

Berikut pernyataan sikap AJI Kota Solo dan PPMI Dewan Kota Solo, beserta elemen lain, pada peringatan World Press Freedom Day 2019:

– Meminta kepada semua pihak untuk ikut menghentikan fenomena kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis.

– Mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis di seluruh Indonesia, termasuk insiden kekerasan yang terjadi di Bandung pada 1 Mei 2019.

– Mengimbau perusahaan media untuk memberikan upah layak serta kesejahteraan kepada para awak media dan tidak mengabaikan hak-hak pekerjanya.

– Berkaitan pers kampus, kami mendesak agar para pimpinan perguran tinggi menjamin kebebasan berekspresi di kampus.

– Mendesak Menristekdikti untuk memberikan perhatian dan menindaklanjuti kasus ancaman kebebasan berekspresi di perguruan tinggi, termasuk keputusan Rektor Universitas Sumatra Utara membubarkan Pers Mahasiswa Suara USU belum lama ini. []

 

sumber: solopos

 

Exit mobile version