Kondisi tubuh Sadikin yang sudah berkepala enam itu tiba-tiba anjlok di penghujung senja. Pria 63 tahun tersebut mengeluh sakit pada dadanya karena sulit bernafas. Satrio anak lelakinya yang berusia 28 tahun bergegas memesan ojek online membawanya ke rumah sakit Mawar Hadi Solo. Perjalanan menuju rumah sakit tidak memakan waktu yang lama. Kondisi jalan tidak seperti biasanya; macet dan padat.
Setelah pemerintah kota Solo menetapkan status kejadian luar biasa jalanan terlihat sepi. Karena sudah ada dua korban yang positif terkena Covid-19.
Mobil Avanca itu berhenti tepat di depan gedung IGD. Petugas yang sedari tadi berdiri mematung di depan pintu masuk IGD terlihat mamakai pakain APD lengkap. Sadikin dibopong oleh dua petugas dibaringkan di brankar dorong. Kemudian dibawanya ke sebuah ruangan.
Satrio menyerahkan dua lembar dua puluh ribuan ke sopir ojek online. Suasana rumah sakit begitu sepi hanya ada beberapa dokter jaga dan ada sekitar lima perawat yang sibuk mondar mandir. Satrio memandang dengan tatapan nanar suasana rumah sakit. Terlintas sebuah tanya “Apa yang akan terjadi dengan bapaknya?”.
Sebuah jarum suntik siap menembus kulit Sadikin. Seorang lelaki berperawakan tinggi wajahnya ditutupi face shield. Terlihat serius memeriksa kondisi Sadikin. Selang oksigen dimasukan kedalam hidung. Juga sebuah suntikan injeksi ke dalam darahnya. Terlihat kondisinya sangat parah.
Satrio berdiri dengan kegelisahan yang tidak dapat disembunyikan dari raut wajahnya. Di samping dokter muda itu ia menjelaskan riwayat penyakit yang diderita bapaknya. Bahwa selama ini bapaknya memiliki masalah paru-paru hampir sudah dua tahun. Dan sempat beberapa kali menjalani rawat inap di klinik. Dokter itu akhirnya mengambil sampel darahnya untuk diperiksa di laboratorium. Nafasnya terlihat tersengal-sengal dan begitu berat untuk menghirup aroma udara di ruang IGD. Aroma udara di ruang IG yang bercampur aroma obat itu juga masuk ke dalam indra penciuman Satrio. Aroma obat membuat mual perutnya. Dokter itu tidak mengijinkannya untuk mendekat ke bapaknya.
Tenaga Medis dan pengunjung harus menjaga jarak dari pasien. Dan harus mengenakan masker. Seperti yang tertera dalam sebuah tata tertib yang terpasang di dinding tepat ketika memasuki ruangan IGD.
Melihat Satrio tidak memakai masker. Dokter itu memberi padanya sebuah masker berwarna hijau. Terlihat sebuah genangan air di sudut matanya tidak bisa dibendung lagi. Suara isakan dan sesenggukan terdengar jelas dari wajah anak itu.
Terbesit dalam hatinya sebuah keinginan untuk menguatkan lelaki paruh baya itu. Ada sebuah magnet yang begitu kuat daya tariknya ingin membisikkan sebuah kalimat tahlil pada bapaknya. Bisikan itu selalu terdengar di telinganya. Namun, kondisi tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Lelaki bertubuh jangkung kurus itu hanya bisa pasrah, “Berdoa saja, Mas,” pesan dari dokter yang masih setia mengamati Pak Sadikin.
***
Pasien datang dan pergi silih berganti. Ruang IGD Mawar Hadi masih saja terlihat kesibukan dari para dokter dan perawat yang berjalan dari satu bilik ke bilik lainnya. Terlihat juga seorang dokter wanita yang cantik bercanda dengan seorang perawat laki-laki. Meski ada pasien yang menangis karena menahan rasa sakitnya. Mungkin dokter itu juga lelah mentalnya sehingga butuh hiburan. Dengan bercanda mungkin salah satu cara terbaik agar jiwa itu sehat.
Aku pun juga menggibah dengan hatiku sendiri. Apa tidak sumuk dengan pakaian yang mereka kenakan. Menurutku sakit yang di derita para pasien murni sakit sebelum corona tiba. Hanya saja kondisi saat ini dikait-kaitkan dengan virus yang mematikan. Semua pun akhirnya harus waspada dan mawas diri. Aku sempat membaca sebuah berita virus ini hanya bagian dari sebuah konspirasi. Apakah berita itu benar adanya. Aku tidak begitu menggagas apakah konspirasi atau murni virus.
Dokter muda itu mendekat ke arah Satrio. Menyampaikan hasil pemeriksaan dari laboratorium. Bahwa dari hasil pemeriksaan awal menunjukan gelaja pneumonia atau bahasa umumnya radang paru-paru. Rata-rata pengidap radang paru-paru mengalami kesulitan ketika bernafas. Hal ini disebabkan karena gaya hidup yang tidak sehat dan pola makannya.
Mengingat situasi saat ini dokter harus melakukan pengecekan beberapa kali. Merebaknya wabah covid-19 ini orang yang memiliki riwayat penyakit tertentu lebih rentan terserang. Satrio hanya bisa berdoa agar kondisi bapaknya segera stabil.
Sadikin adalah orangtua satu-satunya yang dimilikinya. Satrio anak tunggal. Ibunya sudah lama pergi menghadap Sang Kuasa.
Satrio mengistirahatkan sejenak pikirannya. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemah itu pada sebuah tembok dekat ruang administrasi. Dari jarak 10 meter matanya tertuju pada tubuh tua renta itu. Kemudian ia memejamkan mata sejenak. Merangkai sebuah mimpi yang diciptakannya sendiri. Mimpi melihat bapaknya tersenyum kembali. Mimpi berkebun. Mimpi memasakkan nasi dan sayur singkong untuk dinikmati bersama di gubuk belakang rumahnya. Sambil menghalau ayam-ayam tetangga yang suka makan benih-benih cabe yang baru ditanamnya. Namun, mimpi itu tidak berlangsung lama. Seorang perawat membangunkannya dan membuat gelagapan dirinya.
“Pak Sadikin harus dipindah ke ruang isolasi,” tetiba sebuah narasi yang datar itu menghentakkan dirinya yang setengah sadar. Tanpa berfikir panjang Satrio paham dengan maksud perkataan perawat itu.
Sadikin dipindahkan ke sebuah ruang yang tertutup. Semua perawat dan dokter yang berjaga mengenakan pakaian khusus berlapis-lapis. Satrio tidak diijinkan untuk mendekat atau masuk ke dalam ruang isolasi itu. Berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa virus pembunuh itu telah menggerogoti tubuh tua renta itu. Seperti tidak ada harapan kembali.
Ketika kaki Satrio ingin meninggalkan ruang instalasi gawat darurat. Seorang perawat menghampirinya menyampaikan sebuah pesan. Bahwa ia diminta untuk melakukan rapid test. Wajah anak lelaki itu kaget. Ia tergagap dan ada rasa takut ketika harus melakukan rapid test. Ada rasa cemas menggangu hatinya.
Ia merenung di sebuah tempat yang jauh dari lalu lalang orang di rumah sakit ini. Akhirnya ia melakukan saran dari perawat untuk melakukan rapid tes. Ternyata bukan hanya dirinya saja. Perawat memintanya untuk mencari siapa saja yang pernah bertemu dengan dirinya dan bapaknya.
Mata anak itu terpejam sejenak mencoba mengingat dengan siapa saja ia bertemu. Ia teringat Mobil Avansa yang mengantarkanya ke rumah sakit. Satrio pun mencoba melacak dan mencari nomor telepon pengemudi ojek online itu. Deretan nomor telepon yang masuk di ponselnya diamati dengan saksama. Nomor telepon yang berakhiran dengan angka dua dan nol ketemu. Diserahkannya nomor itu kepada perawat. Pihak rumah sakitlah yang nantinya akan menghubungi sendiri.
Atas kejadian ini ia merasa bersalah. Ia tidak ingin orang lain bernasib sama dengan bapaknya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan sopir ojol yang mobilnya ia tumpangi. Kasihan keluarganya. Terlihat sudah wajahnya yang putus asa dan penuh dosa.
***
Dua hari setelah dirawat inap sekira pukul 16.00, Sadikin mengembuskan nafas terakhir. Satrio sudah mempersiapkan dirinya karena ia sudah menduga akhir dari semua ini. Bapaknya akan pergi meninggalkannya. Meski ada rasa menyesal karena tidak dapat membisikkan sebuah kalimat tahlil ke telinganya.
Satrio hanya bisa pasrah dan mendoakan agar diberikan tempat yang terbaik dari yang Kuasa. Ketika pemakaman berlangsung Satrio tidak diijinkan untuk melihatnya. Hanya empat petugas medis yang berpakain APD lengkap memakamkan jenazah Pak Sadikin.
Terlihat sekali kesedihan di raut wajahnya. Selang beberapa waktu kemudian sekira pukul 18.00 sebuah kabar menyedihkan datang menghampirinya. Sebuah pesan dari Rumah Sakit Mawar Hadi bahwa sopir ojek online menjalani karantina karena positif covid-19. Doanya dalam hati jangan sampai sopir itu menyusul bapaknya. Kasihan anak dan istrinya. Satrio sering menggunakan jasa ojek online. Rumah Sopir ojek online itu tidak jauh dari desanya. Bukan hanya tukang ojek online saja yang terkena dampaknya. Warga yang bertetangga dengan Sadikin juga terkena dampaknya. Desa itu kini harus ditutup sementara waktu.
Perasaan berdosa pada diri Satrio semakin menjadi-jadi. Ia berharap virus itu juga akan mengantarkannya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.
***
Takdir ternyata berkata lain. Malaikat maut berbaju virus itu pun enggan untuk mengambil jiwa Satrio. Sebab hasil tes menunjukan negatif. Semua orang ingin terbebas dari virus mematikan itu. Namun tidak demikian dengan Satrio. Ia berharap kematian segera datang padanya. Mungkin hal itu adalah cara terbaik untuk dapat menebus kesalahannya. Buat apa hidup ketika orang saja menghakimi dan mengadili tanpa belas kasih. Ia akan mencari jalan pulang sendiri agar dapat berjumpa dengan kedua orang tuanya.
Penulis: Agus Yulians
Cerpen ini pernah dimuat di majalah Syiar Nur Hidayah