Sejak tiga bulan pernikahan seperti ada sebuah jarak yang menganga antara Istriku dan Ibuku. Jarak itu begitu amat aku rasakan. Kadang tanpa sepengetahuannya kudengar suara isak tangisnya dari balik pintu kamar. Suara pilu yang penuh beban. Aku hanya diam pura-pura tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Mungkin sangat pantas jika aku disebut suami bodoh.
Aku melihat sebuah pemandangan yang tidak sedap pagi itu. Istriku dan Ibu bertengkar di dapur. Pertengkaran itu dipicu dari sebuah aroma masakan. Sayur lodeh yang dimasaknya tidak sesuai dengan selera ibuku. Suara ibu begitu keras sehingga membuat dirinya mundur dari ruang dapur. Sambil menutup wajah dengan kedua tangannya agar butiran-butiran itu tidak jatuh membasahi gaun yang dikenakannya. Aku hanya terpaku dari balik jendela ruang tamu. Mungkin aku pantas disebut suami yang bebal.
Aku buka pintu kamar secara perlahan. Perempuan yang wajahnya berbentuk persegi mengenakan kacamata berbentuk cat eye itu saat ini menangis sesenggukan. Tubuhnya tertelungkup di tempat tidur. Wajahnya ditenggelamkan dalam balutan selimut.
Kaki ini melangkah perlahan mencoba mendekati. Kubelai dengan lembut kepalanya yang masih mengenakan jilbab berwana ungu.
“Maafkan atas sikap ibu,” suaraku lirih seakan tak berdaya. Wajah yang sedang layu itu menatapku dengan tatapan nanar.
Hanya suara isakan tangis yang keluar dari bibirnya. Tubuhku dipeluknya erat. Butiran-butiran air mata membasahi kaos putihku.
***
Pertama kali aku mengenal dirinya. Aku sudah menerima segala kekurangan yang ia miliki. Memasak bukanlah salah satu keahliannya. Usia pernikahan kami masih terlalu muda untuk sepantarannya. Jarak yang terpaut jauh antara aku dengannya. Ia menurutku seorang perempuan yang sempurna dibalik kekurangnnya. Ketidak piawaiannya dalam hal masak memasak. Bagiku bukanlah sebuah kekurangan. Kesempurnaan seorang istri itu bukanlah seberapa lihainya ia memasak. Meski aroma masakan yang disajikannya tidak sempurna seperti aroma masakan ibu ataupun di restoran. Bagiku seorang istri adalah bentuk nyata dari kesempurnaan bidadari.
Awal pernikahan kami memutuskan untuk satu rumah dengan ibuku. Selama menjalani kehidupan rumah tangga. Aku melihat kesungguhan sikapnya dalam memperlakukan ibuku seperti ibunya.
Pada suatu hari istriku memasak sayur lodeh kesukaanku. Dia meracik bumbu sesuai resep yang ada di buku resep masakan. Sayur lodeh yang dibuat istriku aku cicipi aromanya sedap sekali. Ibuku juga ikut mencicipi, tiba-tiba raut wajahnya berubah masam. Ternyata menurut ibu sayurnya masih belum terlalu matang. Selain itu ibu melarang istriku memasak sayur lodeh. Bahkan ketika memasak bumbu-bumbunya yang meracik ibu sendiri. Ucapan ibu terlihat sangat yelekit didengar oleh istriku. Akhirnya, sebuah keputusan Ibu meminta istriku berhenti memasak. Segala yang berkaitan dengan dapur menjadi tanggung jawab ibu. Semenjak itu istriku merasa belum sepurna menjadi seorang istri. Salah satu kewajibannya belum bisa ia penuhi.
Istriku berusah legowo dengan keputusan ibu. Semua demi kebaikan kehidupan rumah tangga kami. Sebagai seorang suami kucoba tenangkan hatinya. Kelegowoaanya membuatku semakin jatuh cinta sama bidadari bermata bening itu.
Hingga pada suatu hari rasa putus asa mendatangi istriku. Pernah ia meminta padaku untuk diantarkan pulang ke rumah orang tuanya. Aku mendengar permintaanya sangat terpukul sekali. Saat itulah aku terlihat bodoh sekali bahkan tidak berdaya menghadapi semua itu. Namun aku juga menyadari kegelisahan yang dirasakan ibu. Pengalamanlah yang membuatnya menderita hingga lunturlah rasa percaya pada orang lain meski dengan menantunya sendiri.
***
Aku menuliskan sebuah pesan dalam selembar kertas berwarna merah muda. Kertas itu aku lipat lalu kumasukkan ke dalam amplop berwarna merah hati bergambar hati yang terbelah menjadi dua. Kutaruh kertas itu di atas meja riasnya.
Istriku, hampir satu tahun usia pernikahan kita. Sungguh aku tak dapat pungkiri sepi yang dulu pernah menjadi teman akrabku, kini menjelma menjadi kebahagiaan di saat langit hati hajatkan hadirmu disisi. Aku akui bahwa aku hanyalah seorang lelaki biasa, dengan cinta biasa, oleh karena itu aku butuh hadirmu untuk jadikan cinta ini cinta yang tidak lagi biasa.
Istriku, Aku sadari bahwa dalam dirimu melekat kekurangan. Namun aku ingin kau tahu bahwa ketika rembulan tidak berpurnama, malam tetap terhiasi teduh cahayanya. Begitu pula inginku, walau tak sempurna, cinta, ketulusan dan keikhlasanmu tetap menjadi hiasan hidupku.
Istriku, dalam setiap untaian doaku selalu kusebut namamu. Istri yang sholehah, cantik parasnya selalu bersamaku membentuk rumah tangga hingga akhir nanti.
Istriku, maafkanlah aku jika sebagai lelaki tidak dapat menjadi peneduh dalam dukamu. Aku belum pernah melihatmu sesedih ini. Karena sebuah aroma masakan yang tak sepadan dengan ibu. Kau harus menerima butiran-butiran peluru yang pedas darinya. Aku berharap kau selalu sabar menghadapi ibu. Aku sadar dan pasti kau sadari bahwa bahagia tiada selalu menyertai, terkadang jalan terjal harus bersama kita daki, aral lintang harus kita lewati. Tak jarang kita harus mengusap air mata yang menetes di pipi. Namun aku yakin itu tiada menyurutkan langkah kita bersama melayar bahtera ini. Suatu saat nanti pasti kau dapat meluluhkan hati ibu.
Salam Sayang Suamimu
Mata ini mencoba mengintip dari balik pintu kamarku. Aku perhatikan seraut wajah istriku tenggelam larut dalam bayang-bayang jingga saat membaca suratku. Setetes air mata bening jatuh secara perlahan. Aku berharap surat ini dapat menjadikanmu memahami bahasa ibuku..
***
Di saat kita sedang asyik menikmati suasana pagi. Terdengar sebuah alunan suara gemiricik air kolam di halaman rumah. Sepasang mata ini disuguhi pemandangan yang menarik hati. Sebuah tanaman bunga yang beragam berjejer rapi di taman kecil depan rumah. Beragam tanaman dan bunga-bunga menjadi suguhan indah bagi siapa saja yang memandangnya. Bunga-bunga cantik yang memikat hati itu merupakan koleksi ibu.
Baca juga cerpen kami yang lain
Suasana pagi yang indah itu buyar seketika di saat bibirmu bergetar beserta butiran air mata. Melihat wajahmu yang mulai layu kembali. Seakan ada beban yang masih kau tanam begitu dalam. Aku sebagai suami merasa bersalah. Apakah surat itu tidak cukup mewakili perasaanku dan permohonan maaf atas sikap ibu. Kau menanyakan sebuah pertanyaan yang seharusnya aku jawab di awal pernikahan kita.
Kenapa setiap masakan yang aku masak selalu saja tidak sesuai selera ibu?
Tema pertanyaanmu tidak jauh dari sebuah aroma masakan yang ternyata masih membekas di hatimu. Demi kelanggengan keluarga kecil yang baru kita bangun. Aku ungkap sebuah tabir rahasia. Suasana masih pagi dan matahari mulai menampakkan di langit-langit.
“Perlu kamu ketahui bahwa Ibu seroang juru masak di sebuah restoran yang terkenal di Solo. Ibu bercerita padaku tentang masakan sayur yang menjadi favorit pelanggannya. Ibu bahagia setiap masakannya selalu habis tak tersisa. Ketika mendengar cerita itu aku sangat senang sekali. Pada waktu itu aku masih kelas enam SD.
Hingga suatu hari ada sebuah petaka yang tak diduga.
Rumah makan tempat bekerja ibu menggelar sebuah acara syukuran. Banyak tamu dari pemilik restoran berdatangan. Ibu diminta untuk memasak aneka sayuran dan masakan daerah.
Ibu membuat aneka masakan mulai dari gulai ayam, garang asam, gudek jogja opor ayam dan sayur lodeh. Semua masakan itu disajikan di meja makan. Enak makanan itu memikat para tamu malam itu. Mereka pun tidak sabar ingin segera melahapnya. Tamu-tamu yang bergaun batik khas Solo berbaris rapi mengambil makanan yang dihidangkan atas di meja berukuran 240 cm x 120 cm berkayu jati. Mereka menikmati sekali masakan buatan ibu. Hingga acara makan usai para tamu merasakan suatu keanehan di dalam perutnya. Hingga kotoran-kotoran yang berbau itu akhirnya keluar berjatuhan di lantai. Semua tamu undangan berlarian mencari toilet. Ada juga yang pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakitnya. Pesta syukuran itu berubah menjadi petaka.
Ibu tidak tahu kenapa masakannya berubah menjadi racun. Ibu sempat mencurigai salah satu rekan kerjanya. Ibu pernah bercerita padaku ada salah satu rekan kerja yang tidak suka dengan kehadirannya. Semenjak ibu bekerja di restoran milik Pak Ching Ho. Ibu selalu mendapat tambahan bonus sebab prestasi kerjanya baik. Restoran selalu ramai.
Pak Ching Ho mengambil sebuah tindakan atas peristiwa yang terjadi. Pihak berwajib pun melakukan investigasi. Ibu sangat takut sekali. Ibu sampai berlutut di hadapan Pak Ching Ho agar mendapat pengampunan. Melihat kejujuran ibu, akhirnya Pak Ching Ho menghentikan kasusnya dengan konsekuensi diberhentikan tanpa pesangon. Semenjak peristiwa itu ibu sangat berhati-hati sekali. Sangat wajar menurutku jika ibu bawel padamu. Memang ibu sangat berhati-hati dalam memilih sayur dan bumbu masakan.”
Mendengar ceritaku ia memelukku erat. Sebuah kata terucap dari bibirnya yang tipis,“Maafkan Aku atas ketidaktahuanku. Aku pikir ada sebuah syarat untuk mencintaimu.”
Penulis, Agus Yulians
tinggal di Karanganyar