Sejatinya dia sangat mengerti, bahwa yang berhasil membuatnya segemilang sekarang; yakni menjadi seseorang yang paling berpengaruh di negeri ini, bukanlah gelar yang melekat pada dirinya, karena ia tak memiliki gelar yang memadai. Bukan pula karena pangkat, karena ia bukan manusia berpangkat. Apalagi karena kekayaan yang memungkinkan ia terbang ke kayangan dan menyuap Bathara Guru untuk menetapkannya sebagai manusia nomor wahid di negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja itu, mestinya, jika tikus-tikus yang geriginya semakin tajam tidak mengoyak ketata-tenteremannya itu penuh keserakahan.
Sejatinya ia sangat memahami, bahwa ia tak memiliki pawitan apapun untuk melangkah menuju istana tempat singgasananya diletakkan sepenuh kemegahan. Karena sebelum itu, ia hanya wong cilik yang kemana-mana mengenakan sandal jepit.
Ya, sandal jepit.
Semasa hidup di alun silam, hingga ia menduduki kursi empuk itu, ia memang selalu mengenakan sandal jepit. Saat masih dalam pergaulan proletar, itu tak aneh, karena orang-orang yang ia temui keseharian adalah pedagang kaki lima, para sopir, pengamen, buruh, petani, nelayan dan sekelasnya. Namun ketika ia memasuki pergaulan yang bertebar intan berlian, mata-mata yang membulat aneh saat menyaksikan ia mengenakan sandal jepitnya tiba-tiba berserak dimana-mana.
“Presiden, rasanya tak santun jika Paduka menghadiri konferensi tingkat tinggi itu dengan mengenakan sandal jepit. Wajah gemah ripah negeri ini akan tercoreng karena Paduka seakan tak menghormati mereka,” ujar seorang penasihatnya, tegas.
“Kenapa? Bukankah sejak dulu, aku memang seperti ini adanya?” kelit Presiden.
“Jangan salah pengertian. Dulu Paduka… maaf seribu maaf, hanya orang kebanyakan. Tetapi sekarang Paduka adalah separuh dewa yang menduduki kemuliaan tertinggi di negeri ini. Dimanapun Paduka berada, mata-mata yang ada pasti akan tertuju kepada Paduka. Oleh karenanya, sangat jamak jika mulai sekarang, Paduka harus mulai merubah penampilan Paduka.”
Bukan hanya penasihat negara yang mengatakan hal tersebut. Sebelumnya, beberapa menteri pun mengalunkan hal yang serupa.
“Mestinya Paduka mengenakan sepatu bertatahkan intan saat menghadiri pernikahan agung putera mahkota kerajaan negeri sahabat, bukan mengenakan sandal jepit yang sudah kumal dan menjijikan seperti itu,” bisik seorang menteri kepada yang lain.
“Betul. Benar-benar memalukan presiden kita ini. Apa sulitnya, membeli sepatu mahal. Uang mengalir deras ke kasnya, sedangkan harga sepatu yang termahal sekalipun, pasti hanya senilai ujung kuku kekayaan yang ia miliki. Ia tak akan miskin meski seluruh pabrik sepatu ia borong.”
“Mata orang-orang besar sedunia menatap presiden kita dengan melecehkan. Semestinya presiden menyadari hal itu. Ia bukan lagi wong cilik seperti dulu, yang bisa seenaknya sendiri bertingkah-laku.”
Ucapan itu melengkapi komentar-komentar yang mengarah deras kepada dirinya, mulai dari komentar santun dalam tingkat bahasa yang tinggi, hingga cercaan kasar yang seakan tak henti menerjang harmoninya.
Pada awalnya, Presiden mencoba tak peduli. Namun ketika ia mulai meresapi kehidupan kelas tinggi yang dialaminya, kesadaran itu pun muncul. Sanjungan dan pujian mengalir bertubi-tubi padanya, entah tulus atau hanya pemanis bibir, sulit dibedakan. Kenyataannya, ia seorang presiden. Di negerinya, presiden hampir sama dengan raja yang memiliki kemuliaan dan kekuasaan tak terbatas.
“Paduka harus memperlihatkan kemuliaan itu,” ujar seseorang yang paling dekat dengannya, belahan jiwanya. “Gantilah sandal jepit Paduka dengan sepatu yang terindah sepanjang sejarah.”
Presiden pun luluh. Saat itu juga, ia melepas sandal jepit kumal itu, dan pelayan melemparkannya ke sudut gudang yang sumpek. Sebagai gantinya, kepala rumah tangga istana telah menyediakan lebih dari selusin sepatu mahal.
“Yang ini Paduka kenakan saat menemui tamu-tamu kenegaraan. Yang ini untuk memimpin sidang kabinet, yang ini untuk inspeksi ke lapangan, ini untuk berolahraga, ini untuk pesta… ini untuk….”
“Jika Paduka sudah merasa tak enak mengenakannya, kapan pun Paduka bisa meminta untuk diganti.”
Sejak saat itu, Presiden pun berganti penampilan. Para pejabat, orang besar, orang kaya, bangsawan, diplomat dan sebagainya berganti-ganti mengucapkan selamat. Mereka mengatakan, bahwa Presiden benar-benar telah terlihat sebagai manusia dengan aura keagungan. Ia seorang raja yang sesungguhnya.
Sementara, sandal jepit yang telah puluhan tahun ia pakai, kini tergeletak bercampur dengan tumpukan kardus, pakaian-pakaian bekas, potongan besi, sepeda yang telah ringsek… serta aneka rongsokan yang lain. Baru semalam bersama, parfum pesing kencing tikus melantiknya sebagai salah satu penghuni gudang yang nyempil di pojok belakang istana itu. Resmi sudah sandal jepit itu menjadi bagian dari penghuni gudang. Sisa-sisa kehormatan—karena ia pernah dipakai oleh seorang presiden dari sebuah negara besar, lenyap tanpa bekas.
Malam itu, seekor tikus besar memasuki lobang yang dibuat secara sabar dengan gerigi pengeratnya, menuju gudang itu, satu-satunya tempat di komplek istana yang dapat dengan bebas ia keluar-masuki tanpa takut dipergoki. Mata tikus itu melebar melihat ada barang baru tergeletak di sudut ruang, sandal jepit itu. Mulutnya pun mendecit, mengeluarkan cicit kegirangan. Sandal itu bagus, anak-anak di sarangnya, sebuah got bawah tanah, pasti akan senang mendapat mainan sebagus itu, demikian pikir sang tikus.
Tikus itu pun menarik sepasang sandal jepit yang sengaja diikat menjadi satu dengan tali itu. Susah payah ia menyeretnya, keluar melalui lubang yang kian hari kian besar, karena satu skuadron tikus telah mendermakan giginya secara gratis untuk bekerja bakti bergantian.
Pada saat itu, seorang pegawai istana terpekik kaget, memergoki seekor tikus melintas dengan menyeret sandal jepit itu. Sambil berseru marah, ia meraih sebatang tongkat, ia pukulkan keras-keras kearah tikus itu. “Mampus kau, tikus siaal!”
Tikus itu tentu menyadari bahaya maut yang mengincarnya. Tak apa anak-anaknya batal mendapatkan mainan bagus, yang penting ia selamat. Cepat ia lepaskan gigitan di mulutnya, lalu berlari pontang-panting, mengusruk ke tempat gelap. Sandal itu ia tinggal begitu saja, memicu rasa penasaran pegawai istana itu. Ia pun membungkuk, meraih sandal jepit itu, dan hoeeek… serasa mau muntah.
Sandal bau apek! Sambil bersungut-sungut, pegawai istana itu melempar sandal itu ke tempat sampah.
Saat Presiden tengah mengagumi sepatu baru yang dihadiahkan oleh seorang diplomat dari negeri asing di kamarnya yang mewah, seorang petugas sampah memasukkan sandal jepitnya ke truk sampah. Perjalanan sandal jepit itu pun tak lagi bisa terdeteksi.
Presiden sendiri telah lupa dengan sandal jepit yang pernah ia kenakan selama puluhan tahun itu. Ia telah memiliki ganti yang jauh lebih menarik, lebih berkelas. Persetan dengan sandal jepit itu!
Pada suatu hari, tiba-tiba ia menyadari bahwa sudah lebih dari empat tahun ia memimpin negeri ini, dan itu berarti sebentar lagi ia harus hengkang dari istana… kecuali jika ia terpilih kembali menjadi presiden. Tetapi, bukankah itu hal yang tak terlalu sulit baginya? Ia memiliki massa pendukung yang sangat banyak, yang ia yakin, masih setia dengannya.
“Besok saya akan menemui para nelayan, tolong persiapkan segala sesuatunya!” teriaknya pada para pembantunya yang dengan segera menjawab, “sendika dawuh!”.
Esoknya, ia pun meluncur dengan mobil kepresidenan, dengan pakaian dinas, tak lupa, sebuah sepatu dari kulit buaya yang tersemir mengilat mengalasi sepasang kakinya. Ketika ratusan nelayan menyambutnya, ia pun melambai-lambaikan tangannya. Namun reaksi dari para pendukungnya yang tak sehangat sebelumnya, memancing keningnya untuk berkerut.
Wajah mereka tak bersemangat. Tak ada teriakan mengelu-elukan seperti yang pernah ia alami beberapa tahun silam. Jumlah mereka pun tak sebanyak semestinya yang mencapai angka puluhan ribu. Hanya ratusan. Mengecewakan. Semakin mendesirkan nada minor ketika baru saja acara dimulai, satu persatu mereka meninggalkan tempat tanpa permisi. Presiden pun terpaksa pulang dengan merengut, tak mau berpidato di depan ribuan kursi kosong melompong.
“Nelayan brengsek!” makinya.
“Jangan khawatir, Presiden. Besok, kita akan bertemu dengan para sopir. Mereka pasti akan menyambut kedatangan Paduka dengan gegap-gempita, karena Paduka adalah pahlawan di mata mereka.”
Ucapan dari seorang menteri membuatnya sedikit tenang. Nelayan brengsek, barangkali mereka sudah disuap oleh lawan politiknya. Selain dia, memang ada beberapa tokoh yang akan maju dalam pemilihan presiden tahun depan. Mereka sudah mulai mencari-cari dukungan dari masyarakat. Presiden harus sangat waspada.
Namun, lagi-lagi ia dibuat terkesima, bahkan schook. Ketika ia mendatangi para sopir, bukannya disambut kemeriahan yang tulus, justru ribuan wajah-wajah itu menatapnya garang. Mulut mereka bungkam, namun spanduk-spanduk dan karton-karton itu menampakkan dengan jelas jeritan hati mereka.
“Presiden penindas rakyat!”
“Mana janji yang pernah kau berikan pada kami?”
“Presiden koruptor, jangan dipilih!”
Ia didemo! Ini pasti trik kotor lawan. Presiden mutung dan marah-marah. Sembari pulang ke istananya, ia mengumpat tiada henti.
“Mereka telah dihasut oleh provokator, tak tahu diri!”
Para menterinya terdiam, tak bersuara. Presiden semakin marah. Kecemasan bahwa ia akan terlempar dari jabatannya membuat kemarahan itu semakin naik hingga mencapai ubun-ubun.
“Katakan apa yang kalian ketahui tentang kekuatan lawan?” bentaknya.
“Ampun, Paduka… satu-satunya calon presiden yang akan menjadi lawan terkuat Paduka adalah… seseorang bernama Patriot!”
“Patriot?” sepasang mata Presiden terbelalak hebat hingga korneanya seakan hendak mencelat keluar.
“Dia yang telah menghasut para pendukung Paduka untuk meninggalkan Paduka.”
Patriot, bukankah dia adalah salah seorang pembantunya yang setia, dulu? Ya, dulu! Sebelum ia mendepaknya karena ketajaman lidah yang seringkali tanpa perasaan mengkritiknya. Dulu, ya… sekali lagi dulu… mereka selalu bersama, bahu-membahu memperjuangkan kehidupan wong cilik. Mereka akrab dengan sopir, buruh, petani, nelayan… dan ah, ya! Sama-sama senang memakai sandal jepit.
Sandal jepit? Masalah sepele itu ternyata membuat mereka terkesan berbeda haluan. Patriot mengkritiknya habis-habisan, karena ia tak lagi mengenakan sandal jepit dan menggantinya dengan sepatu-sepatu mahal. Tak tahan dengan kalimat-kalimatnya yang setajam pisau jagal, Presiden pun memecatnya dari kedudukannya sebagai menteri. Benar-benar hanya karena sandal jepit!
Mungkin dia sakit hati, karena itu ia mencoba menandinginya dengan mencalonkan diri sebagai presiden, menyainginya. Tak tahu diri!
Masa jabatan Presiden semakin mendekati titik limit. Seiring dengan hal tersebut, situasi politik di negara tersebut pun semakin memanas. Presiden ketar-ketir, karena pendukungnya semakin hari semakin berkurang. Mereka lari darinya, dan bergabung dengan Patriot. Celakanya, ia tak tahu, apa penyebab itu semua.
Kenyataan yang kemudian menyeruak, tiba-tiba membuatnya terpelanting dalam keterpanaan yang dalam. Seorang pembantu yang telah lama tak bertemu dengannya, seperti sengaja menyingkir dari kehidupannya, tiba-tiba datang tergopoh dan membisikinya.
“Kau bakalan kalah dalam pemilihan presiden kelak, karena senjata andalanmu telah kau singkirkan jauh-jauh dari kehidupanmu.”
Presiden bertanya lebih lanjut, dan ia menjawab dengan senyum tipis. “Sandal jepit itu yang membuat kau berhasil menjadi presiden. Sayang kau sudah menyia-nyiakannya.”
Sandal jepit? Tentu! Seberkas kesadaran itu menghentak keras. Jika bukan karena sandal jepit itu, mana bisa para sopir, nelayan, petani dan pedagang kaki lima mendukungnya. Ia telah terperdaya!
Seperti gila, presiden berteriak panik. Ia menanyai semua pelayan, dimana gerangan mereka menyimpan sandal jepitnya. Para pelayan mengkeret ketakutan, apalagi ketika sandal jepit itu ternyata sudah tak terdapat lagi di gudang. Sandal itu hilang dari gudang istana. Presiden pun mengamuk sejadi-jadinya.
“Temukan… temukan sandal jepit itu! Temukan, cepaaat! Jika tidak, kalian semua akan kupecat.”
Para pelayan benar-benar dibuat pusing. Hampir semua tempat sampah hingga pembuangan akhir yang ada di negeri itu mereka obrak-abrik, tetapi sandal jepit itu tetap raib.
Presiden stress berat. Akhirnya ia membuat sayembara besar-besaran. Satu milyar untuk siapa saja yang berhasil menemukan sandal jepit sang presiden. Sayembara gila itu jelas dikomentari bermacam-macam. Ada yang menganggap presiden sakit syaraf, namun yang tertarik mengikuti sayembara itu jelas lebih banyak. Mau gila, mau tidak, toh itu bukan urusan mereka. Tak usah banyak tanya, ikut saja sayembara, siapa tahu uang satu milyar melayang ke kantong. Bakal kaya mendadak.
Sebulan telah berlalu, sandal jepit itu tak juga ditemui. Presiden semakin kelimpungan.
“Tak usah mencari sandal jepit itu kemana-mana,” ujar Patriot yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Tak perlu memakai sayembara dan sebagainya. Sandal jepit itu ada padaku. Tetapi jangan berharap jika aku akan memberikannya padamu, meski uang bermilyar-milyar kau tawarkan padaku. Sandal ini tak akan bisa terbeli dengan uang sebanyak apapun. Ia telah melekat padamu, sayang kau sia-siakan dia.”
Presiden terbelalak. Sepasang sandal yang sudah semakin terlihat semakin kumal itu kini melekat di kaki Patriot.
“Kau akan kalah bertanding, Presiden!”
“Kembalikan sandal itu! Kembalikaaaan!”
“Tidaaak!”
“Tolooong, ada pencuri. Sandal jepitku telah dicuri, tolooong!”
Presiden berteriak semakin keras, namun Patriot tak menghiraukannya. Ia bahkan berbalik dan melangkah pergi.
“Pencuriii!! Ada pencuri membawa sandal jepitku!!!”
Saat itu, Presiden telah mafhum, bahwa karir kepresidenannya telah hancur berkeping-keping. Ia pun menggerung… menangis… keras.
Surakarta, 15 Juni 2004
Penulis, Afifah Afra