Home Alinea Cerpen: Pertolongan

Cerpen: Pertolongan

0

Namaku Luna, aku hanya siswi biasa, tidak terlalu pintar tidak terlalu bodoh. Aku hanya dikenal oleh teman sekelasku. Saat ini aku berusia 14 tahun, kelas 3 SMP. Hobiku adalah membaca buku, mendengarkan musik dan masih banyak hal-hal lain yang aku sukai. Terlalu panjang apabila aku jabarkan. Namun, ada satu hal yang sering aku lakukan di malam-malam seperti ini. Terutama pada malam sunyi yang senyap ini. Aku suka menggunakan waktuku untuk merenung, memikirkan diri sendiri, orang lain dan juga bahkan kejadian yang aku alami hari ini.

Pada malam hari, adalah waktu yang paling tenang untuk menjernihkan pikiranku dari segala kecemasan yang sudah terjadi ataupun hendak terjadi nantinya. Seperti malam ini, aku sedang memikirkan apa yang telah terjadi pagi tadi.

Aku berangkat sekolah seperti biasa, masuk ke kelas, mengikuti pelajaran layaknya hari-hari sebelumnya. Tetapi hari ini, saat pelajaran matematika, aku melihat Selena teman sebangkuku itu bersikap sangat aneh. Tidak seperti biasanya. Wajahnya pucat, terlihat gelisah. Entah ada apa dengannya, aku penasaran. Akhirnya aku memberanikan diriku untuk bertanya padanya.

“Selena, kau kenapa? Tingkahmu agak aneh dari pagi.” Lenggang sejenak, dia tidak langsung menjawab pertanyaanku.

Setelah beberapa saat dia baru berkata, “Kuceritakan nanti saja.” Ujarnya dingin, dengan suara bergetar.

Tak berapa lama berselang, bel tanda istirahat berbunyi. Semua teman-teman serentak keluar kelas, menyisakan aku dan Selena di dalam kelas berdua. Kemudian aku mendekat padanya, seolah takut ada yang mendengar pembicaraan kami berdua.

“Semua sudah pergi, sekarang katakan ada apa? Jangan buat orang penasaran,”kataku memaksa.

“Tapi, kamu harus janji untuk tidak memberitahu siapapun,” todongnya. Aku pun mengangguk, mengiyakan permintaannya.

Sambil menghela napas, ia pun mulai bercerita.

“Tadi, saat perjalanan ke sekolah, aku tidak melewati jalan yang biasa aku lewati karena jalannya ditutup. Akhirnya aku lewat gang-gang kecil yang bau dan penuh sampah. Itu lho, yang dekat perumahanmu itu. Dan kamu tahu aku melihat apa?” sontak aku menggelengkan kepala. Selena menghentikan ceritanya. Aku semakin penasaran dengan kelanjutan, karena dia memotong dibagian terpenting. Wajahnya kembali pucat, dia menelan ludah berkali-kali, nampak gugup dan ketakutan.

“Nggak papa kalau nggak mau dilanjutkan,” ucapku menyudahi. Namun sepertinya Selena masih mau melanjutkan.

“Aku nggak papa.” Dia kembali menelan ludah, “jadi… saat aku melewati jalanan itu, ada sekelompok preman yang sedang memukuli anak cowok. Cowok itu memakai seragam SMP seperti kita, dia sedang terduduk dengan wajah yang tak karuan, bajunya sobek, mukanya penuh luka, rambutnya acak-acakan. Pokoknya mengerikan! Dia duduk dengan napas yang terengah-engah, aku setengah mati ketakutan. Mau balik arah, tapi mereka melihatku. Aku mati kutu dibuatnya. Seluruh tubuhku nggak bergerak, aku mematung.” Selena ngeri, ia memeluk dirinya sendiri sambil membayangkan kejadian tadi pagi.

“Terus gimana akhirnya?”

“Itu belum berakhir. Aku didekati satu orang berbadan besar, dia menatapku dengan pandangan menyelidik, sambil menyeringai seram. Aku gugup sekali, sampai hampir menangis. Orang itu tidak berkata apa-apa, dia hanya menaruh telunjuknya dibibir, dia memintaku tutup mulut. Sambil berkata, ‘jangan berani lapor polisi! Atau kamu akan bernasib sama sepertinya!’ aku hanya bisa diam. Tapi aku kasihan sekali sama cowok itu. Kemudian orang besar itu memberi aba-aba pada teman-temannya, dan mereka semua pergi. Saat mereka pergi, aku langsung menolong cowok itu, tapi dia menolaknya dan pergi begitu saja.”

“Kamu nggak tau siapa cowok itu?”

“Aku nggak kenal. Mungkin dia kakak kelas, aku nggak tau. Duhh, aku kapok! Aku nggak mau lagi lewat tempat itu.”

“Terus rencanamu apa?”

“Entahlah, aku terlalu takut kalau harus lapor polisi.”

“Yah, keselamatanmu lebih utama. Nggak papa, yang penting kamu selamat.”

Setelah Selena selesai bercerita, bel masuk berbunyi. Semua teman-teman masuk ke kelas, aku pun merapikan tempat dudukku kembali, sambil sedikit termenung. Pantas saja, semenjak pagi Selena berkelakuan aneh. Untung saja tidak terjadi apa-apa padanya. Lamunanku buyar saat Ms Kelly mengucapkan salam.

Sampai akhirnya aku berada di rumah sekarang, dan tengah memikirkan kejadian tadi pagi. Aku duduk termenung di kasur, saat mengingat apa yang diceritakan Selena. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dibenakku saat itu, atau mungkin lebih layak disebut sebagai ketakutan. Selena mengatakan kejadiannya ada di dekat lingkungan perumahanku. Bagaimana bila aku tidak sengaja lewat sana, dan kejadian itu terulang lagi? Bagaimana jika aku jadi korbannya? Apabila aku jadi korbannya, haruskah aku melapor? Atau aku diam saja, karena berbahaya? Ah, terlalu banyak hal yang memusingkanku hari ini. Aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa, sampai akhirnya aku tertidur.

Keesokan harinya, aku bangun lebih siang dari biasanya. Hari libur seperti hari ini membuatku punya lebih banyak waktu untuk tidur. Namun, setelah bangun aku mencari kesibukan dengan membantu ibu membersihkan rumah. Selesai membantu ibu, aku duduk di sofa dan menyalakan TV. Ibu duduk menemaniku, sambil mengupas buah.

Ketika hendak ganti chanel TV, tiba-tiba sebuah berita mengejutkanku. Sekelompok preman ditangkap karena telah meresahkan warga sekitar. Aku langsung berseru senang. Ibu terkaget-kaget melihat tingkah anehku. Selena pasti juga ikut bahagia, karena pada akhirnya gerombolan preman itu telah ditangkap, Selena tidak perlu takut lagi. Aku pun tidak jadi cemas apabila harus melewati jalan itu lagi.

Aku segera menelepon Selena. Dan dia ternyata juga sudah mendengar berita itu. Terdengar suara kelegaan dari nadanya, aku bersyukur dia dan cowok yang hendak di tolongnya tak perlu takut lagi pada gelombolan preman itu.**

 

Karya: Ghaida

(SD Alam Aqila Wonosari/ Kelas 6)

 

 

 

Exit mobile version