SOLO-Para tokoh, akademisi, dan aktivis mengimbau masyarakat, khususnya anak muda dan mahasiswa, untuk terus menyampaikan sikap kritis atas kondisi demokrasi dan kepemimpinan saat ini di tanah air yang mengabaikan integritas, etik, dan moralitas.
Hal ini disampaikan dalam acara “Public Sharing: Tantangan Demokrasi Kita” di Solo, pada Minggu (17/3/2024). Para pembicara adalah Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said, Fadil Qirom (Ketua Repdem Jateng), Muchus Budi R. (Jurnalis Senior Solo), Theofilus A. Suryadinata (Dosen Sosiologi Fisip UNS), dan Ibnu Kurniawan (Aktivis 1998).
Sudirman Said menyampaikan bahwa saat ini setidaknya terdapat 3 tantangan demokrasi di tanah air. Namun, dia optimistis bahwa masih ada harapan untuk mengembalikan demokrasi ke dalam relnya melalui pikiran kritis dari para penggerak dan tokoh yang masih memiliki hati nurani.
Menurutnya, tantangan pertama adalah tradisi demokrasi di tanah air yang belum melembaga karena masih bergantung pada momentum dan orang per orang.
Kedua, nepotisme yang mewabah. Dia mencontohkan sekeluarga tertentu yang hampir seluruhnya masuk ke dunia politik, baik di eksekutif maupun legislatif.
Ketiga, insentif ekonomi bagi pelaku politik terlalu besar. Hal ini mendorong orang masuk ke dunia politik karena motif ekonomi, bukan untuk memberikan pelayanan publik. Menurutnya, ketika seseorang masuk ke dunia politik karena idealisme justru sering menjadi bahan tertawaan, seolah-olah politik dan kebaikan berada di kolam yang berbeda.
“Kepemimpinan atau demokrasi belum melembaga, nepotisme mewabah, insentif ekonomi untuk dunia politik terlalu besar serta hilangnya etik dan moral dalam bernegara. Ini menjadi tantangan dalam demokrasi kita. Lalu, apakah kita masih punya harapan? Saya berkeyakinan dan optimistis kita masih punya harapan. Sejarah sudah membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang memiliki kemampuan korektif dari masa ke masa. Lebih baik kita menjaga optimisme,” ujar Sudirman di Solo, Minggu (17/3/2024).
Oleh sebab itu, dia mengimbau kepada seluruh pihak terutama para penggerak dan tokoh yang memiliki nurani untuk terus menyampaikan sikap kritis tentang kepemimpinan di negeri ini.
“Ke depan tidak boleh berhenti untuk menyampaikan pandangan-pandangan kritis. Pendidikan politik untuk meningkatkan kesadaran warga. Memang akan butuh waktu lama. Gerakan-gerakan rakyat harus terus diorganisir supaya [pemimpin] tidak memegang ‘pedang’ dengan semaunya sendiri. Mari kita terus bersama rakyat dengan pendidikan politik.”
Dalam kesempatan ini, Sudirman juga menyampaikan sejarah kepemimpinan di negeri ini mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo dengan segala dinamikanya.
Theofilus A. Suryadinata, Dosen Sosiologi FISIP UNS, mengatakan bahwa paradoks demokrasi adalah adanya ketidakseimbangan. Secara normatif ada kebebasan dan kesetaraan, tetapi secara sosiologis ada ketidaksetaraan.
“Kalau kita bicara negara modern, yang berlaku adalah aturan hukum, sifatnya professional (punya kompetensi), tidak ada hubungan personal, formal-legal-profesional, tujuannya agar negara bisa jadi alat yang diperintah secara efektif dan efisien demi kesejahteraan rakyat,”katanya.
Menurutnya, problem demokrasi saat ini selalu ada aspek personal seperti lolosnya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres melalui uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
“Dalam demokrasi seharusnya tidak ada privileges, semua setara, tapi itu normatif. Problemnya secara sosiologis tidak begitu,”ujarnya.
Jurnalis senior Muchus Budi R. mengatakan, prinsip awal demokrasi adalah kesetaraan hak dan penegakan hukum. Kesepakatan pemilu bersifat langsung karena situasi saat itu demokrasi dinilai menjijikan. Saat itu, pemilu terpusat di legislatif menimbulkan politik uang yang sangat kuat.
“Kenapa pemilu kemudian diganti melalui mekanisme langsung, karena kemungkinan kontestan tidak bisa nyogok seluruh rakyat Indonesia. Ternyata sekarang mampu [nyogok seluruh rakyat Indonesia] dan pakai duit negara. Jadi betul kontestan tidak akan mampu [nyogok seluruh rakyat Indonesia], jika tidak pakai uang negara,”ungkapnya.
Dia menegaskan terdapat sedikitnya 3 entitas untuk menjaga demokrasi, yaitu penguasa pemegang pedang kebenaran, intelektual dan akademisi kampus pemegang logika dan kebenaran, dan para ulama pemegang nurani kebenaran.
Menurutnya, yang menarik saat ini para akademisi, seperti dosen justru yang turun menyuarakan kebenaran. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi 1998 saat para dosen berusaha mencegah mahasiswanya untuk turun ke jalan.
“Padahal, yang bisa menggerakkan ekstraparlementer paling kuat ya mahasiswa, bukan aktivis senior. Mereka kelompok yang tidak punya masa lalu, tapi masa depan. Kita harus mendorong, ada perlawanan hukum hak angket dan MK, tapi harus ada juga gerakan rakyat,” tegas Muchus.
Aktivis 1998 Ibnu Kurniawan menyampaikan bahwa para mahasiswa perlu memiliki kebanggaan dan mencetak sejarah saat ini.
“Untuk para anak muda dan mahasiswa, jadikanlah 2024 sebagai kebanggan kalian dengan mencetak sejarah hari ini. Apakah pemilu lagi [diulang], tidak perlu. Apa yang dilakukan presiden hari ini, ternyata punya kekuasaan bisa melakukan apa saja, bisa mengubah undang-undang, dan lainnya. Itu PR [pekerjaan rumah] kita hari ini, itu yang harus dituntut,”katanya.
Fadil Qirom, Ketua Repdem Jateng, menuturkan bahwa pemilu pada masa era Orde Baru kecurangan pemilu dapat dengan mudah diketahui rakyat. Akan tetapi, makin ke sini kecurangan kian canggih melalui teknologi sehingga rakyat tidak tahu kekurangannya karena sembunyi di bawah legalitas demokrasi, bukan substansi demokrasi. Bahkan, mengarah pada demokrasi transaksional.
“Jokowi pasti tahu soal etika di atas hukum formal. Kalau dia betul-betul manusia yang memanusiakan manusia. Pendekatan hukum formal pasti tidak akan berhasil. Semua celah dari undang-undang sudah terbaca. Hanya rakyat yang waras yang masih yakin bahwa Indonesia bangsa yang lahir karena senasib sepenanggungan, karena tidak ingin tidak ada penindasan. Anak muda setidaknya menjadi energi rakyat, yang dipimpin kamu muda, kalau tidak ya akan seperti ini terus,”pungkasnya. []