Eli adalah satu-satunya penyihir yang tersisa di Kota Vorvindur. Dahulu, penyihir di kota itu tidak hanya Eli saja, melainkan ada banyak sekali penyihir yang hidup berdampingan dengan manusia. Namun, karena adanya sebuah wabah penyakit yang menyerang penyihir, semua penyihir yang ada saat itu meninggal, dan menyisakan Eli seorang diri. Kini, Eli selalu merasa gelisah mengenai keberadaannya.
Karena ia menjadi satu-satunya penyihir yang tersisa di dunia ini. Tidak ada rekan lain, ia merasa kesepian, sebab setelah bertahun-tahun semenjak wabah menyerang, sudah tidak ada manusia yang membutuhkannya lagi.
“Aku sudah tidak berguna! Tidak ada manusia yang membutuhkan sihir di jaman sekarang,” ia mendumal seorang diri.
Meong… Meong… tiba-tiba Jiji—seekor kucing hitam milik Eli melompat masuk melalui jendela. Dulu, saat Eli masih berjaya dan manusia membutuhkan kemampuannya, Jiji selalu membantu Eli untuk membuat ramuan. Konon, banyak penyihir berkata, kucing hitam memiliki kekuatan magis untuk menyempurnakan sebuah ramuan.
“Hai Eli, kenapa murung?” tanya Jiji, penasaran.
“Ini semua karena teknologi!” Eli mulai menggerutu, “Jika ada teknologi, sihirku tidak akan berguna di dunia manusia.”
Dia berkata sembari menghentakkan kakinya, dan Jiji mengangguk memahami keluhan Eli.
“Kau ingat, Jiji? Dulu, manusia sering memintaku untuk mengantar mereka ke kota seberang dengan sapu terbang. Namun, sekarang sudah ada kendaraan! Aku tidak bisa diam saja melihat perkembangan teknologi, sementara aku tertinggal sendiri sebagai makhluk yang berbeda.”
“Jika sudah seperti ini, aku dan sapuku sudah tidak dibutuhkan lagi. Sepertinya kami harus pergi,” kata Eli, sembari mengangkat tongkat sihirnya, bersiap merapal mantra.
Jiji menjadi panik karenanya, “Eh, tunggu dulu! Kau harus bersabar. Semua makhluk pasti berguna, begitu juga dirimu.”
Eli terdiam. Ia menurunkan tongkat sihirnya, “Benarkah itu? Aku, sapu, serta tongkatku ini bisa membantu manusia sekarang?” tanyanya ragu.
Jiji berpikir sebentar, kemudian ia berjalan ke arah meja makan melewati segelas teh yang sudah dingin dan kue sus yang sudah termakan setengah bagiannya. Dia menghampiri laptop Eli yang tergeletak di meja dengan kondisi menyala menampilkan sebuah situs web berita lokal kota.
Kucing hitam itu ‘pun lantas menunjuk-nunjuk salah satu artikel berita yang sedang trending. Artikel itu berisi rangkaian berita tentang meledaknya bus antar-jemput sekolah yang menyebabkan para siswa harus berjalan jauh menuju sekolah. Eli membaca dengan serius, hingga sebuah ide muncul dikepalanya.
“Aku tahu, Jiji! Aku bisa menjadi penyihir antar-jemput untuk anak-anak itu,” ujar Eli girang.
“Aku tahu hidupmu sebagai penyihir yang tersisa tidak akan sia-sia, Eli!” kata Jiji, “Sekarang ayo, kita pergi menemui kepala sekolah itu. Kita sampaikan tentang idemu yang akan membantu anak-anak itu,” Eli mengangguk paham.
Mereka berdua pergi ke Sekolah Bintang Gemilang dengan mengendarai sapu terbang. Sebagian manusia yang melihat mereka nampak ternganga, sementara yang lain sudah mengenal Eli sehingga tidak terkejut saat melihatnya.
Sampai di tujuan, Eli disambut baik oleh kepala sekolah. Dia mulai memperbincangkan perihal gagasannya untuk mengantar anak-anak itu dari rumah menuju sekolah.
“Wah, boleh saja jika kamu memang bersedia, tapi bagaimana kamu membawa empat puluh murid dengan satu sapu terbang?”
Eli tersenyum, “Soal itu serahkan saja padaku!”
“Baiklah, Eli. Kamu bisa mulai bekerja sekarang. Sepulang sekolah nanti, kamu bisa mengantar mereka pulang ke rumah mereka masing-masing,”
Jam satu siang, empat puluh anak sudah berada di area lapangan sekolah. Eli antusias memperhatikan satu-persatu anak dengan beragam ekspresi wajah yang mudah ditebak. Mulai dari bingung hingga penasaran oleh kejadian yang akan menanti mereka.
“Halo, semuanya! Apa kalian tahu keberadaanku di sini untuk apa?” tanya Eli.
“Untuk mengantar-jemput kami!” anak-anak itu menjawab serentak.
“Apa kalian pernah melihat sihir?”
Eli mulai berinteraksi kecil-kecilan dengan mereka untuk menghilangkan kecanggungan yang ada. Membalas pertanyaan Eli, mereka menggeleng. Mereka tidak pernah melihat sihir. Dia mulai meletakkan sapu terbang yang dibawanya ke tanah, sementara tangannya perlahan mengayunkan tongkat sihir itu sembari merapal mantra.
“Gemiotem!” Eli berseru, menyihir sapunya. Seketika, sapu itu bertambah jumlahnya menjadi empat puluh buah. Anak-anak itu ternganga, mata mereka tampak berbinar-binar, girang menyaksikan sihir sungguhan.
“Nah, sekarang satu anak mengambil satu sapu, lalu naiki sapunya,”
Eli memperagakan cara menaiki sapu, kemudian satu-persatu anak mulai mencoba ‘tuk menaiki sapu milik mereka. Setelah melihat anak-anak itu siap, Eli mengucapkan mantra imperio yang mulai mengangkat serta mengendalikan sapu itu ke udara. Mereka yang baru pertama kali terbang dengan sapu terlihat ketakutan, namun akhirnya mereka bisa menyesuaikan diri mengendarainya.
Akhirnya Eli menjadi penyihir antar jemput, ia merasa bangga pada dirinya sendiri. Begitu pun Jiji yang saat itu menemani-nya. Siang itu, langit Kota Vorvindur berhias tawa riang dari anak-anak yang baru pulang sekolah dengan mengendarai sapu terbang mereka.
-Tamat-
Penulis, Jiva Tiara Devani
SMPN 7 Surakarta