“Anda kami tangkap dengan tuduhan provokasi!” dua orang pria berpakaian preman meringkusnya. Saat itu di luar gelap gulita. Jam dinding menunjukkan waktu lewat tengah malam. Mata lelaki itu nyalang menatap puluhan pria, baik berseragam maupun tidak, yang memenuhi halaman rumahnya. Persenjataan lengkap. Beberapa berwajah beringas. Beberapa berkata kasar. Beberapa berusaha sopan.
“Saya menolak!” ujarnya. “Mana surat perintah penangkapan saya?!” ia meronta. Sudut matanya menangkap bayangan isteri dan kedua anaknya yang ketakutan di sudut ruangan.
“Ah itu gampang! Besok juga bisa. Makin cepat meringkusmu makin baik! Dasar, merusak tatanan saja!” sahut sebuah suara.
Ia mencoba berteriak, namun gegas, sebuah tangan kasar menutup mulutnya dengan lakban. Berikutnya, seseorang telah menutup kepalanya dengan karung atau entah apa. Tangan terborgol di belakang seolah ia penjahat kelas kakap yang bisa membahayakan siapapun juga.
Dia pun diseret keluar rumahnya.
Dengan pengamanan super lengkap layaknya drama penangkapan teroris dunia.
Padahal sejatinya ia hanya seorang jurnalis saja ….
Dan hal terakhir yang tidak ingin didengarnya malam itu adalah …
suara tangis anaknya.
* * *
“Bagaimana? Semua sudah sesuai rencana?” Tanya satu sosok yang cara duduknya saja sudah menguarkan hawa kuasanya.
“Semuanya beres. Semua rancangan drama sudah kita susun. Semua masih saja gigih menyuarakan kebenaran tentang badut politik kita yang tersandung itu. Tapi setelah bantuan serangan ke Negara lain itu, drama kali ini akan lebih bisa mengalihkan semua isu, dan mereka pun tak bisa berkutik. Sama sekali.” Jawab sosok di depannya. Wajahnya keras dan tegas.
Sosok yang berkuasa itu tertawa dan bertepuk tangan penuh semangat. “Baguslah, bagus! Kita tahu drama tumbal semacam ini selalu lebih laku dan lebih bisa menghentikan aksi apapun juga.”
“Ya, lagipula, kali ini sasaran kita sudah tepat. Agak sedikit bermasalah, namun tak ada yang bisa mereka lakukan di luar sana terhadap kekuatan kekuasaan kita.”
“Apa?” sosok yang duduk itu berjengit sesaat. “Apa maksudmu agak sedikit bermasalah?” Ia menegakkan posisi duduknya.
Sosok di depannya berdehem sejenak. “Yah, jurnalis yang kita tangkap itu, dia agak cukup punya nama di kalangan tertentu. Dan mereka bergerak bersama-sama di dunia maya. Berusaha menyelamatkan nama baiknya atau apalah. Itu … agak di luar kendali kita.”
“Hah!” sosok yang duduk itu kembali mengenyakkan tubuhnya. “Hahahaha! Kupikir masalah apa?! Hanya begitu saja! Tentu pasukan cyber kita bisa menanganinya, bukan?”
Sosok berwajah keras itu menggaruk dagunya, ragu sesaat. “Itu benar. Tapi … mereka cukup berhasil menanamkan kesan yang terbalik. Bahwa orang-orang yang kita tangkap itu mungkin saja tak bersalah. Terutama si jurnalis itu. Ada topik tentang ‘suara kebenaran’ yang dibungkam. Ini seperti kejadian-kejadian di masa lalu, saat paham tertentu mulai menggeliat bangun di negeri ini ….”
“Ah!” sosok yang duduk itu tampak berpuas diri. “Suara kebenaran katanya? Hahaha, katakan saja begitu. Toh pada akhirnya, kekuasaan juga yang akan memegang semua kendali. Benar kan? Itu yang terjadi, kan? Mereka hanya bisa bersuara saja. Tangan kekuasaan milik kita. Hanya kitalah yang bisa menentukan apa yang terjadi pada mereka semua!” sosok itu kembali tertawa.
Sosok berwajah keras di depannya itu hanya terdiam. Kedua tangannya mengepal erat.
Nuraninya berkata lain.
Ia yang dididik untuk selalu menjunjung tinggi kebenaran itu mulai ragu. Jika memang kebenaran dibungkam sebagaimana opini yang menyebar di luar, lantas sebenarnya kebenaran macam apa yang saat ini tengah ia pegang? Kebenaran macam apa yang saat ini tengah ia bela?
Ataukah bukan?
Bukan kebenarankah yang ia perjuangkan saat ini?
“Kau kenapa?” sosok berkuasa yang duduk di depannya rupanya tengah mengamatinya.
Ia menatapnya, gamang. Ia sendiri tak pernah turun tangan menangkapi orang-orang. Ia sendiri hanya perlu mengangkat ujung jari untuk melaksanakan perintah yang turun kepadanya. Untuk beberapa waktu lamanya ia masih merasa berada di jalan yang benar. Membela penguasa yang saat ini memegang kendali adalah kebenaran itu sendiri.
Tapi, sungguhkah itu memang termasuk kebenaran yang ia bela?
“Sungguhkah saat ini kita tengah membungkam kebenaran?” tanyanya. Lebih kepada dirinya sendiri.
Sosok yang duduk itu menatapnya tenang. “Kebenaran?” katanya, dengan suaranya yang paling halus. “Kebenaran apa yang kau maksud? Kebenaran di Negeri Mimpi ini hanyalah sebuah mimpi. Kau tak perlu berpikir hal-hal berat semacam itu. Laksanakan saja tugasmu!”
“Baik.” Dia menunduk dan memberikan salam hormat. Lantas beranjak pergi.
Kebenaran itu hanya sebuah mimpi?
Ia mencerna kalimat itu baik-baik seraya terus berjalan.
Ya. Bisa jadi.
Mungkin.
Mungkin saja.
Mungkin saat ini baru sebatas mimpi.
Namun suatu hari nanti, mimpi itu pasti akan berakhir juga. Dan kebenaran akan mewujud menjadi nyata. []
Penulis, Deasylawati P