Home Solo Raya Harga Sebuah Keluarga

Harga Sebuah Keluarga

0

Aku ingin mencintaimu hari ini

Aku ingin mencintaimu esok hari

Aku ingin mencintaimu lusa nanti

Aku ingin setiap hari mencintaimu selamanya tak berhenti

.

Malam hari itu bulan tersapu awan membuat cahayanya temaram, sepoi angin usil menerjang ranting-ranting membuat bunyi berderit, manusia sudah lelap tertidur kecuali Awan. Suara  tuts laptop nyaring memecah kesunyian malam.

“Belum tidur,mas?” ucap istrinya sambil mengucek matanya.

Yang ditanya tak menjawab hanya anggukan samar, matanya fokus tertuju kepada layar monitor.

“Sudah lewat 12 malam,mas. Ayo tidur besok dilanjutkan lagi pekerjaannya!”

“Iya” jawab Awan pendek.

Istrinya menghela nafas sudah hafal watak suaminya yang keras kepala, merasa tak berhasil membujuknya, ia mengalah untuk kesekian kalinya kembali tidur.

“Selamat malam Awan” ucapannya lirih, namun suaminya tak mendengar, sudah pergi ke dapur mengambil air minum.

***

“Ayah! nanti kita bermain polisi-polisian, yuk!” ajak fajar si Sulung saat melihat Ayahnya ikut bergabung di meja makan.

“Jangan polisi-polisian,Yah. Bermain masak-masakan saja, kemarin senja berhasil,lho, membuat sayur asem kesukaan ayah” yang bungsupun tak mau kalah dengan kakaknya.

“Eh, apaan sih,Ja. Jelas  kakak duluan mengajak ayah” seru si Bungsu.

“Biarin, bermain polisi-polisian lari-lari terus,capek tauk” bantahnya.

“Biarin capek, daripada main masak-masakan bikin bosen “jawabnya tak mau kalah

Si Bungsu diam bersungut-sungut.

“Sudah sudah, Ayah lagi banyak pekerjaan jangan diganggu. Lihat mata Ayah merah karena lembur tadi malam” ucap Rembulan melerai perkelahian mereka, mengambil piring kemudian mengambilkan sarapan untuk suaminya.

“Kira-kira berapa lama lagi,ya phande…uhuk” si Bungsu tersedak buru-buru mengambil air minum.

“Fajar, kalau makan jangan sambil ngomong, ditelan dulu” Rembulan melotot.

“I…iya,Bu”.

“Memang kapan,Yah pandemi ini selesai? Senja sudah kangen sekolah” ucap si sulung.

“He eleh, ngomong aja Senja kangen uang jajan,kan.Jangan sok-sokan kangen sekolah segala” ejek Fajar.

Senja menjulurkan lidahnya tak tertarik  mendebat kakaknya lagi.

“Yaah,ayah malah diem aja ditanya,Ayah haloo” Senja melambaikan tangannya ke ayah.

Awan tak menjawab matanya masih perih, tidur jam satu malam,bangun saat shalat tahajjud itupun mepet dengan shalat subuh lantas tidur lagi. Pikirannya pun tak di meja makan,pikirannya melayang ke laptopnya memikirkan pekerjaan kantornya, wabah virus  mengharuskan semua orang melakukan pekerjaan, belajar dan ibadah dirumah. Sekolah diliburkan, kantor diliburkan,fasilitas umum dan tempat-tempat ramai ditutup. Sekolah melakukan kegiatan belajar mengajar secara online,para pekerja diharuskan WFH(Work From Home) melakukan pekerjaan juga online.Tak terkecuali dengan Awan karyawan kantor yang baru saja naik pangkat menjadi kepala staf perusahaan,inovasinya membuat perusahaannya  semakin menggurita,siang malam berkutat dengan laptopnya memastikan pekerjaan clear  sempurna.

“Ayo segera dihabiskan sarapannya jangan cuma diaduk-aduk saja Fajar” Rembulan melotot ke fajar.

Fajar menarik nafas,tak semangat.

“Sehabis ini kalian boleh bermain” sambung Rembulan.

“Dengan ayah?, bermain polisi-polisian” mata Fajar berbinar.

“Hussh, bermain masak-masakan” sergah Senja.

“Kalian bermain berdua saja,ya.Ayah mau melanjutkan pekerjaan” Ucap Awan berdiri lantas balik kanan menuju kamarnya, tenggelam dengan pekerjaannya sampai malam.Berhenti sebentar hanya untuk shalat dan makan.

***

 “Kalau gini aku rela bermain masak-masakan,ja” keluh Fajar sambil sembarang memencet tombol remote TV.

“He eleh,kata kakak main masak-masakan membosankan huu,plin plan,kakak tidak Isqitomah”

“Istiqomah,Ja.Bosen tau setiap hari begini gak boleh keluar rumah,ayah nggak mau diajak bermain sibuk dengan pekerjaan dan lagi Ibu disuruh ini lah itulah ‘fajar!,bantu ibu menjemur pakaian!,fajar! jangan Keluar rumah!’ aduh fajar! Jangan mengotori lantai'” fajar sambil menunjuk-nunjuk menirukan ibunya mengomel.

Senja ingin tertawa namun urung sebab melihat ibu mereka tiba-tiba muncul membawa ember berisi kain yang mau dijemur.

Sebelum fajar menirukan omelan ibu lagi karena belum menyadari ibunya datang,Senja menawarkan bantuan mencegah fajar menirukan ibu mengomel, Rembulan mengiakan bantuan mereka, mereka berdua mengelus dada selamat dari “ceramah siraman rohani” dari ibunya.

***

Pekerjaan Awan selesai lebih cepat dari deadline ia bergegas turun ke ruang keluarga,kaget. wajahnya pucat pasi melihat 3 anggota  keluarganya tergeletak ia berteriak meminta tolong tetangga sebelah rumahnya untuk membawa istri dan 2 dua anaknya kerumah sakit.

Malam itu ibarat ribuan peluru dimuntahkan menghujam Awan dua malaikat kecilnya meninggal sore itu juga,malam harinya istrinya sekarat nafasnya berat Awan menunggu di luar ruangan mendekat,istrinya dibantu medis mendekati kaca ruangan,mereka semakin dekat  bahkann ia dapat melihat jelas butiran air mata istrinya jatuh dari pipi indahnya.Awan tergugu, tangannya kaku ingin meyeka air mata istrinya,namun tidak bisa tangannya terhalang kaca bening ruang khusus pasien virus.Rembulan menutup mata selamanya…

Lorong Rumah sakit lenggang menyisakan sepi yang membuat tangis Awan terdengar nyaring, sempurna malam itu peluru tepat menghujam jantungnya. Malam itu belahan jiwanya hilang. Tangannya mengepal meninju tembok RS menyesali dirinya.

Dimana uang yang ia bela mati-matian dari pekerjaan banting tulang itu? tak memberi satu detikpun nyawa anggota keluarga mereka. Menyesal ia tak menuruti permintaan Rembulan untuk tidak pergi ke kantor mengambil berkas pekerjaan dan membentak istrinya untuk tidak khawatir tentang virus pandemi,ya siapa pula yang meragukan daya tahan tubuh Awan ia terbiasa berhari-hari  lembur tidur hanya 2 jam perhari,namun sayang,daya imunitasnya memang kuat namun tidak dengan istri dan dua anaknya.Virus yang dibawa Awan menginfeksi mereka.

Bukankah seharusnya ia dirumah. Bukankah tiga minggu ia dirumah memanfaatkan wabah virus ini untuk lebih dekat dengan keluarganya, bukankah seharusnya ia lebih banyak bermain dengan dua malaikatnya, mengaji bersama sehabis shalat Maghrib dan bukankah ini Sabtu seharusnya ia diatas rumah melihat langit malam.Bukankah ia seharusnya lebih banyak mengobrol dengan istrinya,tahajjud bersama lantas membaca Alquran,mencubit pipi tembem istrinya ketika ia salah membaca, bukankah seharusnya ia mengucapkan selamat malam dan mencium kening istrinya.Bayangan-bayangan penyesalan itu kian menggelayuti tubuhnya ia tak kuat. Badan gempalnya ambruk di lorong rumah sakit. Sendirian.

***

“Ayah,bangun ayah, sudah jam 10,ayah tidak shalat Dhuha?”

Awan terbangun,ah cuma mimpi,ia melihat tiga anggota keluarga masih sempurna. Rembulan sedang membaca novel di kasur ditemani Senja yang sedang bermain boneka dan fajar membangunkannya ia tertidur meja kerjanya.

Awan refleks memeluk Fajar,Fajar bingung.

“Ayah,janji akan menghabiskan waktu dengan kalian, bermain dengan kalian,kalian mau diajak ke taman kota?, menikmati senja di waduk?”

Kamar lenggang.Demi melihat wajah kusut suaminya Rembulan tertawa renyah

“Duh,mas kan Ndak boleh keluar rumah dulu, pandemi masih ingat,tho” Rembulan tertawa sampai lupa memanggil suaminya “mas” didepan anak-anak mereka.

 

Penulis, Haydaryahya Darmawan

Tinggal di Blorong, kecamatan Jumantono kabupaten karanganyar

 

Exit mobile version