Kerap orang salah memaknai politik dinasti, yang dilihat hanya bajunya bukan subtansinya. Alibi yang sering diungkapkan, “Prosesnya kan melalui pemilihan, bukan penunjukkan”. Padahal ungkapan itu sekedar pembelaan (pembenaran) atas tidak adanya kesetaraan dalam demokrasi.
Demokrasi sesungguhnya menyangkut 2 hal. Kemerdekaan (liberty) dan kesetaraan (equality). Dengan kemerdekaan dan kesetaraan itu demokrasi menghasilkan apa yang disebut dengan equilibrium (keseimbangan harga) kemudian good and clean government (Pemerintahan yang baik dan bersih ). Law enforcement (penegakan hukum yang adil).
Politik dinasti itu merusak kesetaraan dan kemerdekaan, yang bebas penguasa. Penyalahgunaan kekuasaan itu diberikan karena yang maju kontestasi politik adalah kerabatnya, Istrinya, anaknya atau keponakannya. Sumber daya yang seharusnya tidak boleh digeret dalam politik praktis, demi kelanggengan kekuasaan oleh dinastinya. Dilakukan penguasa seperti penyalahgunaan PNS, anggaran dan pemerintahan dibawahnya semacam emerintahan desa / kelurahan.
Bila diteruskan, penyalahgunaan itu akan merusak merit sistem dalam jenjang karir birokrasi. Merusak keadilan di masyarakat dan membuat instabilitas arus bawah.
Nurani masyarakat paham akan bahayanya politik dinasti apalagi bila hingar-bingar politik dinasti tersebut untuk kelanggengan atau kepentingan segelintir orang.
Sejarah telah mempertontonkan, ketika nurani hilang yang akan ada adalah kehancuran. Machiavelli pun telah mengingatkan melalui sindiran dalam adikaryanya, “II Principe” kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah”.
Dan apakah kita rela membuang etika dan nurani?
oleh: Yudanto Aribowo
(Pegiat Sosial Budaya)