Kopi Pahit Mbok Lumrah

Date:

Tidak ada yang lebih mendamaikan hati daripada ngopi di kedai Mbok Lumrah larut malam. Tempatnya cocok untuk melamunkan apapun. Sebab di samping dan belakang kedai itu terhampar sawah-sawah, dan pengunjung bisa melihatnya dari balik bilik yang hanya setengah badan orang dewasa itu. Meskipun saat ini dunia masih dihebohkan dengan virus mematikan, kedai Mbok Lumrah masih cukup ramai.

“Mbok, kopi satu,” ujar lelaki yang selalu menghabiskan malam-malamnya dengan secangkir kopi pahit di kedai Mbok Lumrah.

Nama lelaki itu Sugi.  Dia tidak pernah menikmati kopi bersama orang lain sambil bercerita tentang hidup. Bukan karena dia tidak mau, tetapi memang karena tidak ada orang yang sudi duduk dan berbagi cerita dengannya. Sugi adalah seorang lulusan sarjana, sekaligus residivis kasus penadah motor curian. Sialnya, kebanyakan motor curian itu berasal dari desanya sendiri.

Monggo, dinikmati kopinya,” ujar Mbok Lumrah dengan suara bergetar karena tua, “Jangan lupa maskernya.”

Sugi segera menyeruput kopi di depannya dengan hati-hati sebab masih panas. Kemudian dia memejamkan mata sambil menyenderkan badan di kursi kayu. Entah apa yang dia pikirkan malam ini. Mungkin hidupnya. Sebab tidak pernah ada orang yang menganggap bahwa kehidupan di dunia ini mudah. Namun, di sela-sela kesulitan itu masih ada kebahagiaan. Dan inilah saat-saat yang membuat Sugi bahagia, menikmati kopi pahit sambil meratapi hidup. Jika ada permintaan yang bisa dikabulkan saat ini juga, dia hanya ingin punya teman ngopi malam ini. Kopi akan lebih nikmat jika diminum sambil membicarakan banyak hal.

Tanpa aba-aba, terdengar suara gelas menyentuh mejanya. Lalu Sugi melihat ada orang yang berdiri di depannya sambil menyodorkan tangan.

“Kenalkan, namaku Sahroni. Aku sedang mencari orang. Dan sepertinya orang itu kamu.”

“Jaga jarak,” ujar simbok. Sugi dan Sahronipun menoleh ke Mbok Lumrah sambil menganggukan kepala.

Sugi mangangkat alisnya sebelah, karena dia merasa tidak pernah kenal dengan orang yang sedang berada di depannya ini. Dia mengingat-ingat dengan hati-hati, mencari nama Sahroni diantara nama-nama orang yang ada di kepalanya. Namun, usahanya sia-sia. Dia tetap tidak bisa menemukan nama Sahroni dalam ingatannya.

“Kamu Suka Kopi?”

Sugi hanya melihat orang itu dengan penuh penasaran, badannya bongsor, kulitnya sawo matang, tingginya diatas rata-rata orang pribumi dan wajahnya seperti orang tidak berdosa. Namun dengan setelan celana denim, kaca mata hitam dan jaket kulit, dia lebih mirip debt-collector.

“Aku gila kopi,” celetuknya.

“Kalau aku tidak minum kopi sehari saja, ada yang hilang dari hidupku. Seperti seorang lelaki yang kehilangan kekasih,” ujarnya setelah menyeruput kopi di meja.

“Aku dengar disini ada orang yang sama gilanya denganku. Jadi aku kemari.”

Sahroni membuka perbincangan dengan begitu lihai. Sepertinya dia berhasil memancing Sugi untuk sedikit berkata-kata. Lalu Sugi teringat doanya, apakah ini adalah orang yang dikirim Tuhan untuk teman ngopinya?

“Jadi, kau pecinta kopi?”

Sahroni tersenyum. “Aku sudah bukan lagi cinta. Aku sudah gila.”

Tak lama kemudian mereka begitu akrab dengan obrolan malam yang dingin, dimulai dengan obrolan kecil sebagai pembuka. Menit-menit itu mereka tertawa lepas dengan saling bercanda, sampai lupa bahwa mereka baru saja bertemu malam ini.

“Nama saya, Sugi.”

Sugi pun memperkenalkan diri di hadapan Sahroni sebab sepertinya dia bukan penagih hutang. Dia lelaki pengembara kedai kopi. Tidak lebih.

“Apa kamu sudah memiliki kekasih?” tanya Sahroni tiba-tiba.

Sugi pun cukup kaget dengan pertanyaan itu. Tidak biasanya dia ditanya tentang seorang kekasih. Karena memang sepertinya cinta tidak pernah memihaknya. Jadi, singkat saja Sugi menjawab, tidak. Sahroni pun tersenyum simpul lantas menyeruput kopi di depannya.

“Akupun sama. Tidak punya kekasih. Satu-satunya kekasihku, ya hanya ini,” jawab Sahroni sambil mengangkat cangkir kopinya.

Sahroni diam. Raut wajahnya mulai serius.

“Apakah aku terlihat menyedihkan?” tanya Sahroni, “sebenarnya dulu aku punya kekasih yang sangat aku cintai. Tapi sekarang dia pergi entah kemana. Kamu tahu kemana perginya?”

“Bagaimana aku tahu? Aku saja tidak kenal dengan mantan kekasihmu.”

“Sudah dua tahun ini aku mencarinya. Tapi dia tak kunjung ketemu. Apa mungkin ada orang yang menculiknya?” tanya Sahroni.

Wajah Sahroni mendadak serius. Kali ini dia mirip detektif yang sedang mengurai benang kasus rumit yang belum terpecahkan. Sugi pun terkesan dengan keseriusan Sahroni dalam mencari kekasihnya itu.

“Mungkin dia sedang bekerja jadi TKW di Taiwan. Kebanyakan wanita disini lebih suka bekerja di disana. Uangnya lebih banyak.”

Di sela-sela percakapan malam, Mbok Lumrah sedang asik memutar-mutar radio tua peninggalan mendiang suaminya. Namun, yang dia dengar bukan tembang kesayangannya, namun tentang berita konspirasi virus covid-19 yang sedang menyerang dunia.

Sepertinya Sugi akan mengakhiri kesendiriannya dalam menikmati kopi di kedai Mbok Lumrah. Sekarang dia punya kawan untuk berbincang. Malam-malam berikutnya mungkin mereka akan janjian untuk ngopi bareng, di tempat yang sama, suasana yang sama, dan obrolan yang sama. Sahroni saat ini masih berbicara tentang kekasihnya itu.

“Ah, sudahlah. Kau hanya menangkap kemungkinan-kemungkinan. Sepertinya kau harus berhenti memikirkannya sejenak,” kata Sugi.

“Terima kasih atas saranmu. Tapi rasanya itu tidak mungkin.”

“Apa kamu pernah suka dengan seorang wanita, Gi?” lanjutnya.

Sugi hanya tersenyum karena dia sadar wajahnya tidak terlalu menarik bagi wanita. Meski begitu, dia tetap bersyukur dengan pemberian Tuhan. Dia percaya ada rencana Tuhan di balik itu semua.

“Iya. Tentu saja pernah. Sudah banyak perempuan yang aku sukai.”

Sahroni kemudian tertawa setelah mendengar jawaban Sugi. Suaranya keras sehingga banyak orang yang milihat kearahnya.

“Hush! Jangan keras-keras tertawanya. Nanti dikira kamu gila,” ujar Mbok Lumrah sambil berjalan mengantarkan pesanan kopi di meja lain.

“Apa kamu benar-benar tidak kenal dengan kekasihku, Gi?”

“Apa kamu tidak percaya dengan jawabanku? Kalau boleh tahu, siapa nama kekasihmu itu?”

“Hastuti.”

“Maaf aku tidak kenal.”

Sahroni tersenyum sinis. Dia sepertinya tidak percaya dengannya. Sugi mengakui jika dia pernah menyukai banyak wanita, tapi bukan berarti salah satunya adalah Hastuti.

“Tapi kamu pernah suka wanita kan?” tanya Sahroni.

“Terus apa hubugannya?”

“Jawab saja!”

“Iya, pernah!”

Sahroni pun tertawa dan kali ini lebih keras. Orang-orang menoleh kearahnya lagi. Perbincangan ini semakin memanas dengan ketidak jelasannya. Sugi mengaku tidak pernah kenal Hastuti. Sahroni tidak percaya. Tapi Sugi pernah suka wanita. Sahroni hanya tertawa terbahak-bahak. Sugi melihat Sahroni semakin malam semakin aneh.

“Barang kali kau pernah menyukai kekasihku. Apa kau menculiknya?”

“Maaf bung, sepertinya kita harus ganti topik pembicaraan.”

“Kamu jangan mengalihkan pembicaraan. Apa kau yang menculik kekasihku? Jawab!”

“Hei! Kenapa kamu marah-marah?!”

Sahroni tiba-tiba saja naik pitam dan menjadi penuh curiga kepada Sugi, teman barunya itu. Wajahnya tampak memerah penuh amarah. Lalu dia berdiri, dan seketika itu dia menyekik leher Sugi.

“Perhatikanlah bapak-bapak! Aku akan beritahu berita yang penting,” ujar Sahroni.

Para pengunjung lalu mulai penasaran. “Orang ini adalah seorang penculik! Dia menculik kekasihku yang sudah aku cintai bertahun-tahun lamanya,” ujar Sahroni sambil mencekik leher Sugi.

“Apa benar itu, Gi? Dasar kurang ajar kau ini!” ujar salah satu orang tua di sana.

Kemudian Sahroni memukul dan menendang Sugi. Kedai Mbok Lumrah gaduh dibuatnya. Orang-orang bersorak sorai seperti sedang menonton pertandingan gulat. Sugi kewalahan karena lawannya tak sebanding. Sebab tubuh Sugi krempeng dan pendek. Dia lebih mirip dengan samsak yang jadi bulan-bulanan petinju.

Sugi hendak lari namun tangan Sahroni cukup panjang untuk menjangkau kerah bajunya dari belakang. Lalu dia malayangkan pukulan lagi dan lagi. Kebringasan Sahroni seperti orang yang sudah kehilangan akal. Dia tampak menikmati memukuli Sugi yang sudah melambaikan tangan, tanda menyerah, kepadanya.

Setelah puas memukuli Sugi, Sahroni kemudian menyeruput kopinya, duduk sejenak, lantas melenggang menuju pintu keluar layaknya seorang jawara petinju kelas kakap.

“Kasihan kau Nak, dipukuli orang gila,” ujar salah satu pengunjung kedai kopi Mbok Lumrah.

“Maksudmu?”

“Lelaki itu otaknya sudah tidak beres, alias gila, walaupun kadang dia terlihat waras. Penyakit gila itu kumatan.” Orang itu membenarkan duduknya, kemudian melanjutkan. “Dua tahun yang lalu kekasihnya digondol lelaki lain entah kemana. Padahal rencananya Sahroni dan kekasihnya itu sudah akan melangsungkan pernikahan. Surat undangan sudah dia sebar kemana-mana.

“Kenapa kamu tidak memberi tahuku sejak tadi?”

“Aku kira Sahroni sedang waras, jadi aku tidak memberitahumu.”

Sugi kembali duduk sambil menahan memar di sekujur tubuhnya. Malam ini adalah malam yang sial bagi Sugi sebab Tuhan mengirimkan orang gila untuk teman ngopinya malam ini. Tapi Sugi mendapatkan pelajaran dari kisah Sahroni, bahwa jatuh cinta yang berlebihan tidak bagus untuk kondisi kejiwaan. Sugi akan mencintai wanita dengan sekadarnya. Sisanya untuk dirinya sendiri.

Sekarang dia menatap kosong keluar dari bilik kedai, menyaksikan malam semakin larut. Lalu, dia ambil kopinya dan menyeruputnya lagi. Tak lama setelah itu, dia mengecap-ngecapkan bibirnya. Dia menimang-nimang. Ada yang berbeda. Lalu dia mulai menyadari bahwa kopi Mbok Lumrah malam ini terasa lebih pahit dari sebelumnya.

 

Penulis: Ma Sayu

Tinggal di Sragen

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Pilkada Usai, Ini Harapan Insan Wisata kepada Pemimpin Baru

GUNUNGKIDUL-Pilkada berlalu, sebentar lagi masyarakat siap untuk menyambut pemimpin...

Hasil Tabulasi PKS, Respati-Astrid Peroleh 60,43%

SOLO-Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) PKS Kota Solo, Daryono,...

Wapres Gibran Nyoblos di TPS 018 Manahan Solo

SOLO-Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka juga telah menggunakan...

Pakta Integritas Cawali dan Cawawali Surakarta dengan MUI, Berikut Isinya

SOLO-Pilkada Kota Surakarta 2024 sudah memasuki hari tenang, tepatnya...