“The philosophy of the school room in one generation will be the philosophy of government in the next.” (Abraham Lincoln)
Terhitung hari ini (Senin, 30 Maret 2020), dua minggu sudah anak-anak berada di rumah. Kebijakan pemerintah dalam membatasi penyebaran Covid-19 mengharuskan anak-anak belajar dari rumah. Banyak pengalaman dan pelajaran baru. Banyak keseruan yang baru ditemu. Begitu pula, banyak kerepotan dan kepayahan baru. Terutama bagi kita, orang tua, yang mendadak menjadi “bapak ibu guru” selama anak-anak belajar di rumah. Profesi tambahan yang mau tidak mau kita jalankan, selain pekerjaan yang harus dilaporkan secara harian (working from home). Terbayang, beban yang berlipat-lipat.
Jadwal yang sudah bertahun-tahun rapi dijalankan menjadi berantakan. Sebab waktu anak-anak selama belajar di sekolah, sekarang ditimbun dan bertabrakan menjadi waktu harian di dalam rumah. Anak-anak yang biasanya jam 6.30 sudah berangkat ke sekolah, kenyataannya (saat ini), jam 07.00 masih tidur di atas kasur. Habis sholat subuh lanjut tidur. Susah dibangunkan. Padahal, pembelajaran secara online dari rumah (oleh pihak sekolah) dimulai jam 07.30. Jika tidak, anak-anak pasti ketinggalan pelajaran.gu
Ditambah, orang tua yang bekerja dari rumah, sejak pagi-pagi sudah dituntut merancang laporan pekerjaan harian. Apalagi jika Ayah Bunda sama-sama bekerja. Sang Ayah memiliki target pekerjaan sendiri, sedangkan Sang Bunda juga dituntut menyelesaikan pekerjaan dari pimpinan. Sementara kondisi rumah masih berantakan: piring kotor menumpuk di dapur, lantai lengket belum disapu (boro-boro dipel), baju-baju kotor menggunung antri dicuci, belum memikirkan bikin sarapan apa, makan siang lauk sayur apa, dsb. Ditambah Si Mbak yang biasa membantu diliburkan (atau minta libur) karena khawatir tertular virus. Bisa dipastikan beban Ayah Bunda makin menjadi-jadi, tumpah ruah tak terkendali!
Bagaimana ini?
Huff, Ayah Bunda, di atas segala keriuhan (baca: kepenatan?) tersebut, satu hal yang harus kita garis bawahi adalah bahwa kita sekeluarga masih sehat. Jika keriuhan itu masih kita rasakan, hal itu menjadi bukti bahwa kita, orang tua, anak-anak, masih diberikan kesehatan oleh Sang Pencipta. Keriuhan itu kita alami karena kita masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Anak-anak sekolah di rumah, Ayah Bunda masih bisa bekerja dari rumah. Artinya, aktivitas harian berjalan normal. Itulah sebab terbesar yang harus kita syukuri. Bahwa Allah ‘Azza wa Jall masih melindungi keluarga kita dengan karunia nikmat kesehatan yang sempurna. Alhamdulillah.
Dalam kesempatan kali ini, saya tidak akan mengulas tentang cara agar berhasil dalam melakukan “belajar dari rumah”. Karena saya yakin, setiap keluarga memiliki caranya masing-masing dalam “bertahan/menjalani” keriuhan ini. Sebagaimana saya yakin, bahwa tiap sekolah menerapkan kebijakan distance learning yang berbeda-beda. Karena itu, setiap keluarga pasti memiliki cara dan kreativitas yang berlainan dalam menyikapinya. Apalagi masa ini telah kita lewati selama dua minggu. Masa yang cukup untuk memberikan waktu bagi Ayah Bunda dan anak-anak dalam melakukan adaptasi psikologis (cooping) atas situasi ini.
Melalui tulisan ini saya ingin berbagi cara pandang kepada Ayah Bunda dalam “mengoptimalkan” situasi ini. Saya lebih senang menggunakan istilah “mengoptimalkan” dibandingkan “melewati”. Sebab cara pandang kita terhadap sesuatu (termasuk diksi yang kita pilih) akan menuntun pikiran bawah sadar kita dalam menyikapi suatu peristiwa. Semoga, dengan istilah “optimal” tersebut, secara tidak sadar kita juga dituntun memberikan ikhtiar terbaik pada anak-anak saat mereka belajar dari rumah.
Ada tiga cara pandang yang ingin saya bagi pada Ayah Bunda.
Pertama, Tujuan Belajar. Salah satu yang menyebabkan berhasilnya pembelajaran adalah tujuan belajar yang jelas. Tujuan akan menentukan metode belajar yang dipilih. Tujuan juga memengaruhi bagaimana strategi pembelajaran diterapkan. Sebagai “bapak ibu guru” baru di rumah, kita perlu memahami hal ini. Sehingga, paling tidak, kita bisa ikut berempati ketika anak-anak diberikan PR yang—menurut kita—sangat banyak dari sekolah. Sebagian besar kita berpikir, bukankah justru hal itu membebani anak-anak (dan kita sebagai orang tua) di tengah situasi seperti ini? Apa tidak ada cara belajar lainnya? Apa harus se-repot itu? Dsb. Ujung-ujungnya, kita mendampingi anak-anak secara asal-asalan: yang penting tugas mereka jadi!
Ayah Bunda, mari kita melihat dari jendela (baca: sudut pandang) yang lebih luas. Seperti yang kita tahu, bahwa tujuan belajar adalah terjadinya perubahan perilaku hasil belajar yang diharapkan setelah mengikuti pembelajaran tertentu. Maka, mari kita pahami, bahwa tugas-tugas yang menggunung tersebut adalah bagian dari upaya dalam mengubah perilaku anak-anak sesuai hasil belajar yang diharapkan. Alih-alih, merasa kesal atas banyaknya tugas yang diberikan, Ayah Bunda bisa membaca kemudian memahami deskripsi tujuan pembelajaran pada buku pelajaran mereka. Sehingga, dengan mengetahui tujuan belajar yang jelas, Ayah Bunda memiliki kompas dalam mendampingi anak-anak mencapai tujuan belajarnya. Kesampingkan kerepotan yang Ayah Bunda rasakan. Fokuslah pada tujuan besarnya. Sebab, kata Aristoteles “The roots of education are bitter, but the fruit is sweet.” Pendidikan itu memang harus berpayah-payah, penuh kepahitan, tapi yakinlah ia pasti berbuah manis.
Kedua, Modifikasi Perilaku. Sebagaimana tujuan belajar, modifikasi perilaku juga berkaitan dengan terjadinya perubahan perilaku. Modifikasi perilaku diterapkan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan menekan perilaku yang tidak diharapkan. Ada banyak teknik yang bisa digunakan dalam modifikasi perilaku, misalnya stimulus-control, positive reinforcement, intermitten reinforcement, extinction, fading, shaping, punishment, escape-avoidance, modelling, guidance, token economies, dsb. Setiap teknik diterapkan sesuai dengan kondisi tertentu berdasarkan hasil analisis kasus yang dihadapi. Mudah-mudahan dalam kesempatan lainnya, saya bisa mengulas masing-masing teknik tersebut.
Nah, cara pandang yang ingin saya tekankan adalah: mari kita optimalkan masa “belajar dari rumah” ini sebagai upaya melakukan modifikasi perilaku. Objek modifikasi bukan hanya anak-anak, namun kita sebagai orang tua juga harus ikut dimodifikasi perilakunya. Ayah Bunda melakukan modifikasi perilaku pada anak-anak secara bertahap, sembari sedikit demi sedikit juga mengubah perilaku/kebiasaan diri sendiri.
Lalu, teknik modifikasi perilaku apa yang paling tepat? Untuk saat ini, saya sarankan kita tidak terlalu memusingkan pada pemilihan teknik. Intinya sederhana, modifikasi perilaku menekankan pada “meningkatkan perilaku yang diinginkan dan menekan perilaku yang tidak diharapkan”. Kita bisa mulai dari hal sederhana, misalnya mengubah perilaku anak-anak bahwa “belajar dari rumah” bukanlah liburan, namun tetap sekolah hanya saja di rumah. Sehingga, mereka tetap harus bangun pagi-pagi dan memenuhi jadwal secara rapi, sebagaimana ketika mereka aktif masuk sekolah. Mengenai cara, Ayah Bunda lah yang lebih tahu, karena yang paling memahami karakter anak-anaknya.
Ketiga, Doa. Suatu ketika Guru mengaji saya pernah ditanya mengapa anak-anak beliau bisa halus budi pekertinya, lembut akhlak dan adabnya, serta baik prestasi akademiknya. Beliau menjawab, “Kalian mendoakan anak-anak hanya sehabis sholat, sementara saya mendoakan mereka setiap waktu. Saat memandang wajah mereka. Saat mengobrol dengan mereka. Saat melihat mereka tidur. Saat menemani makan. Saat mengaji. Saat menungguinya. Saat bercanda. Saat apa saja. Bahkan saat marah sekalipun. Tidak pernah lepas saya doakan mereka dalam hati: Robbii hablii minash shoolihin… atau Robbii hablii min ladunka dzurriyyatan thoyyibah innaka samii’ud duaa’...”.
Masya Allah, bagaimana dengan kita?
Jujur diakui bahwa kita memang kurang mendoakan anak-anak. Banyak dari kita, yang hanya mendoakan anak-anak selepas sholat. Kita merasa telah mati-matian bekerja demi anak-anak. Padahal sesungguhnya, doa juga menjadi asupan dalam tumbuh kembang mereka. Sudah seharusnya, kita juga mati-matian dalam mendoakan mereka. Sering kali kita mengeluh, bahwa anak-anak kita begini dan begitu, dikasih begini tidak mempan, dikasih begitu tidak berubah. Ketahuilah, bahwa saat semua teknik modifikasi perilaku tidak berlaku, maka hanya ada satu yang bisa mengubah mereka: doa!
Maka, nikmatilah saat-saat seperti ini. Jangan mengeluh dengan kepayahan yang dialami. Jangan menyerah dengan kerepotan yang terjadi. Bersabarlah dengan situasi ini. Jadikan waktu ini saat-saat paling berharga karena bisa 24 jam mendampingi mereka. Kapan lagi kita memiliki waktu seperti ini? Hadirkan diri kita sepenuhnya saat mendampingi mereka belajar dari rumah: agar anak-anak merasakan ayah dan bundanya betul-betul ada. Bukan sekadar fisik, tapi hadir secara psikologis. Hingga ikatan emosional dan kelekatan (attachment) tumbuh makin kuat.
Ayah dan Bunda, ada banyak cara memaknai hidup. Sebagaimana, ada banyak jendela yang bisa menyilahkan matahari masuk ke rumah kita. Tidak ada jendela yang lebar, celah di antara atap pun bisa. Tak ada cukup ruang, lubang-lubang dinding juga mampu menjaring matahari diam di kamar kita. Sebaliknya, jika kita menutup rapat jendela, maka cahaya sebanyak apapun takkan pernah datang menyapa.
Akhirnya, kembali berpulang pada diri kita. Apakah memandang semua ini sebagai musibah atau hikmah? Sesal atau ikhtiar? Kepayahan atau kegigihan? Hambatan atau kesempatan? Menunggu atau menjemput? Memaknai yang masih ada atau menyesali yang terbuang? Half full or half empty? Setengah isi atau setengah kosong? Semua tergantung dari jendela mana kita melihatnya.1
Kutipan:
1Diambil dari catatan “Bukan Sudah Tetapi Akan (2009)” karya M. N. Furqon.
Penulis, M. Nurul Furqon
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta