Home Alinea Cerpen: Andaikan Ia Tak Bohong

Cerpen: Andaikan Ia Tak Bohong

0

“Hai Agatha!” Seseorang menyapaku dari belakang. Aku menoleh.

“Hai juga.” Ternyata Jasmine.

“Bisa temani aku ke koperasi sekolah?”

Aku mengangguk. Tidak masalah. Aku juga mau ke koperasi. Lalu kami bergegas ke koperasi. Sedikit tergesa-gesa, khawatir bel masuk berdering. Dan segera kembali ke kelas. Pelajaran pertama adalah matematika, dan saat bel istirahat berdering, semua murid berseru riang. Kecuali satu orang, Jasmine. Ia tampak sedang mencari sesuatu.

“Jas, kamu mencari apa?” Alya mendatangi meja Jasmine.

Jasmine menoleh. Sudut matanya sudah mulai mengeluarkan air mata. “D-dompetku hilang.” Air mata meleleh di pipinya, “P-padahal tadi d-dompetku masih ada.” Jasmine sesenggukan “Da-dan uang yang ada di dompet itu adalah tabunganku.”

Aku segera mengerti. “Jasmine, sekarang kamu cuci muka dulu, lalu bilang ke Bu Fika jika dompetmu hilang, kami akan mencoba mencari dompetmu,” ujarku menenangkan.

Tiba-tiba, teman-temanku di kelas mendadak ikut mendekat. Mereka dengan murah hatinya berbagi sebagian uang jajan mereka. Termasuk aku dan Alya. Yeah, memang begitu ‘tradisi’ kami, kami akan berbagi sebagian dari uang jajan kami, apabila mengetahui salah satu dari teman lain sedang tertimpa masalah.

“Terima kasih, teman-teman. Terima kasih banyak.” Setidaknya Jasmine sudah dapat tersenyum. Lalu ia bergegas mencuci mukanya yang sembap dan mengatakan kepada Bu Fika jika dompetnya hilang.

“Siap, Agatha? Ayo kita selidiki kasus ini.” ajak Alya yang sambil mengambil kaca pembesar miliknya.

“Tidak perlu bertanya.” Aku tersenyum, menyiapkan notebook mini dan pulpen.

Pertama, kami akan membuat semacam poster tentang hilangnya dompet Jasmine. Poster tersebut akan kami tempel di samping papan tulis. Supaya bisa dilihat teman sekelas.

“Mmm, selanjutnya apa yang akan kita lakukan?” Tanyaku.

“Hmm… Kita akan.” Alya berpikir sejenak “Ke TKP?”

“Tentu Saja! Ayo.” Ajakku, berjalan ke meja Jasmine yang berada di paling belakang. Siapa tau ada benda mencurigakan di siitu.

“Agatha?” Alya memanggil, menunjukkan sebuah penghapus milikku.

“Jasmine tadi meminjam penghapusku, masih baru. Aku beli di koperasi tadi pagi. Waktu itu aku melihat Jasmine di koperasi juga untuk membeli sesuatu, ia mengeluarkan uang dari dompetnya saat hendak membayar.” Aku menundukkan kepala, mencari jika ada barang bukti yang jatuh.

“Jasmine membeli apa di sana?” tanyaku.

“Buku tulis.” Aku mengangkat kepala.

“Sepertinya tidak ada barang mencurigakan di sini.”

“Agatha?” Alya memanggil lagi.

“Ya?”

“Menurutmu siapa pelakunya?”

Aku hanya mengangkat bahu. Aku tidak tahu. “Memangnya menurutmu siapa pelakunya?”

“Ada 3 kemungkinan.” Alya menatapku “Satu, Nisya, jika mood-nya bagus ia pasti baik, tapi jika suasana hatinya buruk, hehe, kamu pasti tahulah.” dia melirik ke arah Nisya sambil tersenyum penuh makna. “Lalu ada Kila, yah apalagi ia memang paling sering berbohong.” Alya menoleh, menatap Jasmine yang sedang memasuki kelas, “Dan mungkin Jasmine tidak sengaja menjatuhkan dompetnya.”

Aku mencatat baik-baik perkataan Alya di notebook. Setelah mencatat, aku dan Alya langsung beranjak untuk mengintrogasi Jasmine.

“Jas, apakah kamu yakin dompetmu tidak jatuh?” tanyaku penasaran.

“Tidak, aku memegangnya erat-erat, setelah itu aku memasukannya ke dalam ranselku,”jawab Jasmine.

Baiklah kalau begitu. Aku mencoret kemungkinan ketiga. Sekarang kami tinggal mengintrogasi Nisya dan Rheya. Sayang seribu sayang. Bel masuk berbunyi. Pelajaran Pak Agus guru bahasa arab dimulai.

Tiba-tiba Bu Fika maju ke depan kelas. “Maaf, anak-anak. Bu Fika harap anak-anak selalu jujur. Terkait dompet milik Jasmine…” Bu Fika menghela nafas sejenak “Apakah ada yang ingin mengaku?”

Kelas hening. Murid-murid diam seribu bahasa. Tidak ada yang mengangkat tangan. Tidak ada pula yang menjawab. Bu Fika menghela nafas sekali lagi. “Pak Agus izin sebentar  Kalian boleh jamkos, asal kalian tetap tenang.”

Senang bukan kepalang. Murid-murid memasukkan kembali buku bahasa arabnya.

“Agatha?” Alya memanggil.

“Ya?” Jawabku.

“Ayo.” Alya menggandengku menuju meja Nisya. Ia sedang menggambar. Dari tampangnya, sepertinya suasana hatinya sedang buruk.

“Eh, Nisya, apa kami boleh bertanya?” Aku ragu bertanya.

Tanpa menoleh sedikit pun, ia menjawab “Kalian boleh bertanya. Bebas. Tapi kalau tentang aku menjawab atau tidak, itu urusan lain.”

“Kamu yang mencuri dompet Jasmine-kan?! Jujur saja!” Tanpa basa-basi Alya sudah menggertak.

Kali ini Nisya mendongak. Meng-ekspresikan wajah tersinggung “Memang buat apa aku mencuri dompet Jasmine?!”

“Eh-”Aku mengguncang-guncang pundak Alya. Memberi isyarat bahwa Bu Fika sedang menatap tidak suka pada kami. Dengan terpaksa, kami meninggalkan meja Nisya. Aku mencoret nama Nisya dari notebook-ku.

“Di mana Kila?” tanya Alya.

“Ia pasti sedang ke toilet.” Aku  tertawa renyah “Setiap hari-kan Kila ‘istiqomah’ makan bakso dengan sambal ekstra pedas.” Alya ikut tertawa pelan.

“Kalau begitu, menurutku, pencuri dompet itu tidak mungkin dari kelas lain, karena sejak pagi tadi, tidak ada murid kelas lain yang masuk kelas ini. Lagi pula, Jasmine menaruh dompet di tasnya saat di dalam kelas.”

“Benar juga.” Kata Alya. Tiba-tiba wajahnya cerah “Bagaimana jika kita menggeledah tas murid di kelas ini?”

“Oh iya! Dan kita bisa izin Bu Fika dulu, supaya Bu Fika juga bisa membantu.” Aku menambahkan.

Tanpa berpikir dua kali, aku langsung meminta izin ke Bu Fika. Dan Bu Fika mengangguk, ide bagus. Aku, Alya, dan Bu Fika menggeledah semua tas milik murid kelas ini kecuali Jasmine. Tetapi hasilnya… Nihil… Beberapa menit sebelum istirahat, Pak Agus datang dengan nafas terengah-engah.

“Maaf, anak-anak. Pak Agus tadi sedang rapat. Mari, keluarkan buku bahasa arab kalian.”

Semua murid diam. Dengan ekspresi yang tidak bisa dibayangkan. Ekspresi kecewa campur aduk dengan ekspresi terkejut.

“Ayo anak-anak, waktu kita sedikit. Pak Agus minta jam istirahat digunakan untuk pelajaran bahasa arab.”

Semua murid masih diam. Tapi wajah mereka mengerut. Apa? Kita tidak istirahat? Itu hak kami sebagai murid! Kurang lebih itu makna ekspresi wajah mereka. Tapi Pak Agus adalah Pak Agus. Ia guru yang tegas dan sulit dibantah.

“Bukankah kalian sudah istirahat tadi?” Pak Agus seperti bisa membaca pikiran murid-murid. “Baiklah sekarang buka buku bahasa arab halaman 52.”

Setelah pelajaran bahasa arab, waktunya maksi, alias makan siang. Aku sudah tidak sabar ingin melihat menu catering hari ini. Semoga enak. Dan ternyata, menu makan siangnya adalah nasi goreng.

“Wah! Sedap sekali.” Komentarku. Saking lezatnya, bahkan aku sampai lupa tentang hilangnya dompet Jasmine yang sedari tadi membebani pikiranku.

Aku yang biasanya makan agak lama, membuatku nyaris terlambat sholat Dzuhur. Usai sholat Dzuhur, masih ada waktu sedikit untuk mencari tahu keberadaan dompet Jasmine. Waktu yang singkat itu kami gunakan untuk mengintrogasi Kila.

“Kila, kamu harus jujur ya. Aku tidak akan memarahimu asal kamu mau jujur.” Aku memberi aba-aba, Kila mengangguk.

“Apakah kamu yang mengambil dompet milik Jasmine?” Aku menggunakan kata ‘mengambil’ bukan ‘mencuri’ supaya Kila yang memang agak sensitif tidak sakit hati.

Mulutnya ternganga “Aku tidak mengambilnya.”

“Beneran?” Alya menyelidik. Kila mengangguk sungguh-sungguh. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca.

Oke! Berarti Kila bukan pelakunya. Aku mencoret nama Kila di notebook-ku. Lalu… Siapa pelaku pencuri dompet tersebut? Itulah pertanyaan yang belum bisa kujawab. Selama pelajaran Bahasa Indonesia, aku tidak bisa fokus. Sibuk berpikir. Dan disaat itulah, aku melihat Jasmine menulis diary.

Mmm, mungkin dia menulis curhatan tentang dompetnya yang hilang. Eh, tapi Jasmine menulisnya sambil tersenyum. Oh, mungkin ia menulis tentang betapa baik hatinya kami yang memberikan uang kepada Jasmine.

Bel istirahat berdering.

“Alya, jika bukan Nisya dan Kila pelakunya, siapa pencuri dompet itu?” tanyaku, pada Alya.

“Aku tidak tahu,” jawab Alya.

“Dari tadi kita sudah mencari tahu siapa pelakunya, mencari tahu di mana dompet Jasmine. Bahkan kita tidak membiarkan sedetik pun terlewatkan untuk mencari tahu hal itu. Apakah… apakah misi kita kali ini gagal, Alya?”

“Tentu tidak! Tapi, eh, eh, aku tidak tahu. Eh, mmm, mungkin iya.” Alya menjawab ragu-ragu, menghela nafas. “Rekor. Ini pertama kalinya kita gagal.”

Saat pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, aku menyimak pelajaran lebih fokus dibanding saat pelajaran Bahasa Indonesia. Entah mengapa rasanya bel istirahat berbunyi lebih cepat. Dan inilah saatnya untuk sekenario terakhir. Aku dan Alya berjalan ke meja Jasmine.

“Jasmine.” Aku berhenti sejenak, menunggu Jasmine menoleh “Maaf, aku dan Alya tidak bisa menemukan dompetmu, juga pelakunya.” Jasmine tersenyum, tidak, ia benar-benar tidak terpaksa tersenyum.

“Aku juga minta maaf, Jas.” Ujar Alya.

Jasmine masih tersenyum “Tidak apa-apa. Aku senang kalian ti, eh, telah berusaha.”

Untuk menenangkan diriku, aku memutuskan pergi ke kantin. Di sana aku tidak sengaja mendengar adik kelas 4 yang sedang menggerutu sendiri.

“Huh! Dasar! Bahkan ia tidak membayarnya. Huh! Enak saja dia mengambil makanan sesukanya lalu bilang ke Bu Kantin jika aku yang membayarnya. Huh! Awas saja jika nanti ketemu dia. Huh! Mengambil kesempatan dalam kesempitan!” Adik kelas itu berlari. Mencari orang yang dimaksudnya tadi.

Aku tertawa mendengarnya. Terutama pada kata ‘huh’-nya. Tapi tidak hanya aku yang tertawa. Murid-murid yang lain juga tertawa. Termasuk kakak kelas dan adik kelas lain.

Dalam hati aku bersyukur. Aku sudah dapat tersenyum dan tertawa lagi. Tadi saat masih di kelas, rasanya aku sudah lupa cara tersenyum dan tertawa. Yeah, lupakan dulu sejenak hal itu. Aku harus me-rileks-kan diri terlebih dahulu. Dengan jajan dan tersenyum. Sebelum bel masuk berdering lagi.

Dan saat aku masuk ke kelas, Alya memergoki-ku.

“Agatha! Ke mana saja kamu?”

“Eh, jajan, ke kantin.” Jawabku, ragu-ragu.

“Kok nggak ngajak-ngajak, sih?”

“Eh, sorry.” Aku segera duduk di kursi-ku. Menunggu guru pelajaran Bahasa Inggris datang. Lalu aku teringat sesuatu. Aku beranjak ke meja Jasmine, untuk mengambil penghapusku.

Lagi-lagi Jasmine sedang menulis diary. Sekarang lebih aneh lagi. Ia menulis bahkan sambil tertawa. Sungguh aneh. Batinku. Apalagi Jasmine jarang sekali menulis diary. Lalu aku segera duduk di kursi-ku. Bel masuk sudah berbunyi dari tadi, tapi guru pelajaran Bahasa Inggris belum datang.

Ah, akhirnya aku bisa melakukan hobi-ku kembali. Yaitu merenung. Merenung memikirkan tentang hilangnya dompet Jasmine. Mulai dari Jasmine menangis, mengaku dompetnya hilang, semua teman membantunya, memberinya uang, lalu menginterogasi Nisya dan Kila, misi gagal, lalu a-

“Yeah! Betul sekali!” Aku berkata pelan. Mengapa hal yang satu ini kulupakan? Aku tahu! Aku tahu pelakunya! Dan aku tahu di mana pastinya dompet itu disembunyikan, dompet itu ada di dalam kelas ini.

Aku segera berdiri. Hendak memanggil Alya dan Jasmine.

Tapi… Sayang sekali. Guru Bahasa Inggris yaitu Bu Fikri sudah berdiri di ambang pintu. Hendak memulai pelajaran. Ketika pelajaran selesai, aku tidak punya waktu untuk menjelaskan kepada Alya dan Jasmine. Waktu itu aku harus terburu-buru berwudhu karena Bu Fikri agak memperlama pelajaran. Dan aku terlambat Sholat Ashar.

Dan sialnya lagi, ternyata Bu Fika sudah pulang sejak tadi siang. Jadi yang mengawal kepulangan di kelas kami adalah guru di kelas sebelah yang tidak tahu-menahu tentang hilangnya dompet Jasmine. Ditambah lagi bunda menjemputku sangat awal.

“Tidak apa, Agatha!” Aku berkata pada diriku sendiri. “Masih ada hari esok!”

Dan saking semangatnya aku sampai tidak bisa tidur hingga pagi hari.

 

***

 

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Bu Fika memberi salam.

“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Murid-murid menjawab serempak.

“Sekali lagi Bu Fika bertanya, apakah ada yang tahu siapa yang mengambil dompet milik Jasmine?”

Semuanya masih diam seperti kemarin. Aku satu-satunya yang bersuara dan mengangkat tangan.

“Ya, Agatha?” Bu Fika memanggil “Kamu tahu siapa?”

Aku berjalan ke depan kelas, agak lambat karena masih sedikit mengantuk.  Lalu aku membisikkan nama pelaku, kepada Bu Fika.

“Hmm… Begitu ya.” Ujar Bu Fika, sembari mempersilakanku memberitahu murid-murid.

Siapa pelakunya? Inilah penjelasannya.

“Teman-teman, sejak kemarin aku dan Alya sudah berusaha mencari pelakunya, dan ternyata orang-orang yang kami interogasi bukanlah pelakunya. Aku minta maaf.”

Sejenak Nisya dan Kila mengekspreikan wajah lega.

“Lalu siapa pelakunya?” Kila menyela, penasaran.

“Siapa pelakunya?” Aku tersenyum. Menatap wajah pelaku tersebut, lagi-lagi ia sedang menulis diary. “Pelakunya adalah…. Korban pencurian dompet itu sendiri. Jasmine.”

Gerakan menulis pada tangan Jasmine terhenti. Mendongak, menatapku dengan tatapan tajam. Bagaimana bisa?!

“Bagaimana bisa?” Aku seperti bisa membaca pikiran Jasmine. “Apakah kalian pernah melihat Jasmine menulis diary selain kemarin dan hari ini? Tidak. Mengapa? Karena ia berhasil menyelesaikan rencananya. Lalu, kemarin saat aku meminta maaf karena tidak dapat menemukan pelakunya. Apa yang dijawabnya? ‘Tidak apa-apa. Aku senang kalian ti, eh, telah berusaha.’ Apa maksudnya ti-? Maksudnya adalah tidak dapat menemukan dompet dan pelakunya.” Aku menatap ‘pencuri dompet’ itu sekali lagi. “Ia memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Apa maksudnya? Jasmine memanfaatkan kita untuk mendapatkan uang dengan berpura-pura kehilangan dompetnya.”

“Mengapa dompetnya tidak ditemukan?” Nisya bertanya, menyela.

“Dompet itu tidak ditemukan karena tasnya tidak digel-”

BRUK! Aku terjatuh. Lemas. Dan mengantuk.

 

***

 

“Hei! Agatha sudah bangun!” Samar-samar terdengar suara dari samping kananku. Aku berusaha membuka mataku. Itu Alya. Teman-teman yang lain ikut mendekat demi mendengar seruan itu.

“Eh, apa yang terjadi? Mengapa aku ada di UKS, dan kalian semua-” Aku bertanya pelan.

“Kamu pingsan, Agatha.” Nisya memberitahu. Diikuti anggukan Alya.

“Eh-” Aku menggaruk kepalaku. Pasti ini karena semalam aku tidak tidur. Aku mengganti topik pembicaraan. “Bagaimana dengan Jasmine?”

“Ia menangis. Mengakui bahwa ia memang berpura-pura, itu karena Ayahnya sedang sakit. Ia sudah pulang, kita tidak memintanya untuk mengembalikan uang pemberian kita.”

Aku terdiam. Andaikan ia meminta langsung kepada kami dengan alasan yang benar, pasti ia mendapatkan yang lebih banyak. Andaikan ia berkata jujur. Andaikan ia tak bohong, berpura-pura. Pasti hari ini juga.. dia tidak akan malu seperti hari ini. Aku pun tidak perlu membongkar kebohongannya di depan kelas. Aku menghela napas berat.

Semoga saja dengan kejadian ini. Teman-teman sekelas dan juga Jasmine bisa benar-benar berubah menjadi lebih baik. []

Penulis, Haya Haniyah

SDIT Nur Hidayah

 

Exit mobile version